Mainmain – Terima Kasih Gelap, Aku telah Menemukan Terang | Tujuh hari tujuh malam lamanya, hujan juga tak kunjung menghilang. Tak hentinya membasahi desa. Desa di mana seorang remaja hidup di dalamnya. Suara yang dihasilkan dari aduan kartu, selalu mengindahkan telinga para tetangga, termasuk Virgi.
Ia duduk di depan teras rumahnya sembari mengamati cicak yang sedang kucing-kucingan, kejar sana-kejar sini. Ia membakar gulungan kertas pada bibir mungil miliknya, dan hati remaja tersebut lalu berbisik cemburu, “Ingin aku seperti itu, tapi pemerintah tak setuju.” [ads1]
Banyak orang hidup dalam ambang keresahan dan ditemani kelaparan di mana-mana dengan jubah Covid-19. Virgi, seorang remaja yang desanya sedang diselimuti kedinginan, kehilangan kebiasaannya untuk berdagang dan belajar. Kini ia harus membiasakan diri untuk hidup berdampingan dengan sang cicak yang terkadang memang menyebalkan, melemparkan bom tak terduga, begitu saja.
Baca Juga: Kepada Bapak
Ia memberanikan diri untuk pertama kali membuka buku dan mulai membacanya. Sekali- dua ia bosan, dan sesekali ia tak paham dengan isi dalam buku. Dengan tekad yang ia miliki, ia tak mudah menyerah, ia memiliki teknik sendiri untuk menghilangkan kesendiriannya itu.
Ia mencari buku yang ia butuhkan dengan sungguh-sungguh. Virgi hidup dari hasil keringatnya sendiri, tapi terkadang ia kesulitan untuk terus hidup seperti itu tanpa tahu dasar ilmunya. Marketing is bullshit. Itulah buku yang ia temukan di kamar pada beberapa tumpukan buku milik temannya. [ads1]
Jauh di luar dugaan, ia mulai tertarik pada buku apapun, tapi enggan untuk membaca tumpukan beberapa buku yang sudah tersedia. Hasrat yang timbul lebih condong menuntut dirinya agar berburu terlebih dahulu lalu menyantapnya. Maka dari itu ia enggan membuka buku yang sudah ada didekatnya lebih lama.
Tjahaja Djinga, tempat pertama kali Virgi berani untuk bergabung bersama manusia-manusia mafia buku. Ia belajar banyak di sana, dan tentunya apa yang ia inginkan terpenuhi, termasuk mencari buku.
Di perkumpulan itulah Virgi mulai menjalani kehidupannya penuh dengan seni, seperti yang ia dapatkan pada beberapa buku sastra. Semua yang ia jalani di kehidupannya, termasuk berjualan ataupun bersekolah ia puisikan. Tapi ada beberapa hal membuat Virgi geram; pemerintahan.
Ia tak menggugat perihal jubah Covid-19 yang sudah menjadi trend kebanyakan daerah, tapi hal pilih-kasihlah yang membuatnya menjadi geram. Virgi tinggal di daerah yang sudah cukup berkembang, akan tetapi itu hanya insfrastruktur saja, dan itu pun tidak merata.
Bagaimana tidak, tempat tinggal Virgi sedikit pun tak memiliki aliran listrik, ia kesulitan ketika semua tugas sekolahnya harus melalui sistem daring. Dari situlah ia mulai berinteraksi dengan penulis manapun dan melahap habis semua hasil karya mereka.
Baca Juga: Belajar Berumah Tangga
Semua cara untuk meluapkan isi hatinya sudah ia lakukan, mulai dari poster yang ia buat di warnet, hingga coret sana coret sini ia lakukan dengan tidak main-main. Nahas memang. Sayangnya, tak ada yang ingin mendengarkan hati Virgi. Ia bukanlah siapa-siapa, dan ia pun merasa pantas untuk mendapat ketidakpedulian itu, batinnya.
Sembari duduk di depan teras rumahnya, Virgi menggulung kertas dan menempelkan pada mulut kecilnya, lalu membakar kertas itu pada ujung yang lain. [ads2]
Dan kembali ia mencari cicak yang selalu kucing-kucingan di atap rumahnya, dan huuusss… kepulan asap yang sudah ia hisap keluar bak awan sedang berpelukan. Tapi tak ada cicak berkejaran lagi, kini hanya ada seekor cicak saja yang hadir dalam pandangan Virgi, sama seperti dirinya yang selalu sendiri.
Virgi bermain dengan kertas menyala itu dan diputar-putarkan pada sela-sela jarinya, dan si cicak memainkan ekornya ke kanan ke kiri, seakan cicak itu mengerti dan sama-sama menikmati rasa sunyi. [ads1]
“Apa yang menjadikan ia sendiri? Apakah ada pemerintahan juga di dunia cicak? Apa banyak ketidakadilan juga di sana?”, batinnya.
“Gi. Abahmu…” panggilan itu membuyarkan lamunannya, ternyata saudari Virgi yang datang sembari memegangi lutut dengan nafas yang tak teratur.
“Abah? Kenapa?” balasnya kebingungan.
Dengan mimik wajah kusam dan air mata yang menghujaninya, saudarinya melanjutkan lirih “Abahh Gii… Abaahh…”
Ia terhenyak setelah melihat wajah saudarinya, pertanda ada sesuatu yang tidak beres. Ia benar-benar membeku tak percaya. Hujan air mata pun mulai membasahi pipi tipisnya itu dan mulai memandang pada sang cicak. “Kaulah yang berhak menemaniku saat ini,” lirihnya.
Rasa ingin berjumpa menggebu-gebu. Tapi, Virgi tak kuasa. Ia tahu bahwa dirinya tak mempunyai kendaraan dan sedikitpun tak ada angkutan umum yang beroperasi waktu itu.
Meminjam pada tetanggapun mereka ketakutan, bahkan ketika Virgi hendak menyewa tak diberi. Ia lupa bahwa sekarang di sekitarnya sedang dibalut oleh jubah Covid-19. [ads2]
Dengan tegar, Virgi menyuruh saudarinya untuk tidur dulu di tempat teman perempuannya, dan baru menemui sanak saudara keesokan hari.
Kini hujan kembali menghampiri dengan suasana berbeda, turun menyentuh tanaman-tanaman dengan perlahan, dan irama percikan hujan yang mengenai genteng menemani kesendirian Virgi. Ia termenung dibuatnya. Namun sejurus kemudian, ia berlari begitu saja menghampiri kedatangan sang hujan. Lari amat sangat cepat tanpa seorang pun yang tahu ia berlari ke mana. [ads1]
“Timana jang? Meni huhujanan kitu” ucap satu senior yang sedang bertamu.
“Dari warung a, beli kopi” jawab lirih Virgi. Ia kaget dibuatnya, ia tidak tahu sama sekali apa maksud mereka datang kemari. “Apa mereka sudah tahu tentang keluargaku? Ah tidak mungkin, mereka tidak tahu tentangku, mereka hanya kenal diriku kemarin saja,” pikirnya.
“Ya sudah tunggu dulu sebentar a, bikin kopi dulu” lanjutnya sambil memberikan sedikit senyum, menunjukkan wajah yang baik-baik saja, lalu pergi ke balik pintu. [ads1]
Sesaat kemudia ia kembali keluar membawakan kopi untuk dirinya dan ketiga tamunya itu. Ia memberikan kepada masing-masing, “Sok a!” tawarnya.
Aep, Emul, Ujang. Tiga orang yang tiba-tiba bertamu itu mengeluarkan kartu untuk menghiasi obrolan mereka. Hal yang wajar di daerah kediaman Virgi, dan sering menjadi permainan penghilang bete para pemuda penjaga pos ronda.
Tapi, memang nahas akrab dengannya. Para tamu mengajak Virgi untuk bergabung dalam permainan mereka. Virgi ingin sekali berkata “ini bukan saatnya”, tapi sayang, itu malah membuat dirinya semakin terpuruk. [ads2]
Ia tak ingin sedikitpun menerima kesedihan dari orang yang ditujukan untuk dirinya, ia tahu kematian adalah kepastian. Maka ia pun memaksakan dirinya untuk merasa baik-baik saja, dan menerima tawaran dari para tamu.
Baca Juga: Perpisahan, Kepulangan, dan Kenangan
Ketika di tengah pertandingan, Emul menodongkan sebatang rokok yang bentuknya memang agak aneh. Virgi tahu persis rokok apa yang ditawarkan oleh tamunya itu, barang yang dilarang oleh negara dan Virgi sebenarnya sudah malas untuk menyentuh barang itu lagi.
“Sok gratis Gi” tawarnya dengan nada memaksa.
Ia terdiam terpaku. Ia bingung dan bertanya dalam hati, kenapa masih ada saja orang yang seperti itu, kenapa ingin sekali merusak manusia-manusia seusia diriku ini, hal apa yang seharusnya bisa membuat orang-orang seperti ini jera? [ads1]
“Santai aja Gi, rahasia aman” goda Ujang sambil merangkul tubuhnya serta menampakan senyum paling anehnya, dan terlihatlah mata merah pekat yang sudah hampir termakan oleh kantung mata.
Badan Virgi menggigil tak karuan. Ia tak ingin melanggar janji untuk kembali pada masa lalunya yang kelam. Hati kecilnya itu terus menerus diterjang oleh bisikan aneh.
“Come on Gi. Kita sekali-dua harus bernostalgia pada pengalaman apa pun, itu sangat ‘mengasikan” bisikan pada hati Virgi.
Hati Virgi membantahnya, “Tidak! Aku tak akan sudi sedikit pun bernostalgia dengan hal tersebut. Aku sudah bosan melakukan hal-hal seperti itu”. Sialnya, itu hanya ada dalam hatinya seorang, berbeda dengan kenyataan sang raga. Ia telah menerima gulungan kertas itu dan siap membakarnya. [ads2]
Setelah lamanya haha-hihi tak jelas, Virgi dan ketiga tamunya kembali menggulung kertas yang tersisa dan tak lupa juga untuk membakarnya. Hhuuussss… hasap yang dikeluarkan sangatlah halus, menjadikan pandangan mereka tidak tertutupi seperti biasanya dan akal mereka pun kembali netral.
Baca Juga: Jiwa Seorang Sufi
Virgi mulai melihat sang cicak, karena ialah sebenarnya teman yang berhak menemani dirinya sekarang. Bukan mereka yang tak diundang. Lalu ia menghadapkan pandangannya ke dalam gelas kopi yang tersisa sedikit lagi.
Ia baru menyadari banyak sekali pesan-pesan Tuhan di sekelilingnya.
Terseok ia dalam lamunan. Ia benar-benar harus menempuh hidup bersama sang sunyi. Raga yang sedari tadi terdiam dan menatap tajam pada isi cangkir, ditinggalkan begitu saja oleh sang jiwa tanpa pamrih. [ads1]
Sang jiwa pergi bertamasya, mencari jalan, memikirkan apa lagi yang akan ia jalani pada esok hari. Ia tak ingin termakan oleh masa lalunya yang kelam. Mabuk-mabukan hanya untuk sekadar melepaskan amarah, tentu saja bukan lagi menjadi hal prioritas, ia tak ingin semua itu datang kembali pada kehidupannya.
Ia sudah lelah melakukan semua tingkah bodoh seperti itu. “Sudah cukup tentang semua itu, hal yang barusan adalah terakhir kallinya aku sudi menerima masa-masa gelapku,” ucapnya.
Jauh di luar sana, kebingungan dan amarah terus menyerang sang jiwa. Hingga sampai pada akhirnya sang jiwa masuk pada goa yang kumuh, tanpa disadari sedikit pun. Dilema ia memikirkan kehidupan, sang jiwa tak tahu harus memilih yang mana; terus masuk pada kegelapan atau harus kembali pada cahaya.
Kegelisahan itu terus melanda, ia tak ingin kembali pada masa kegelapannya, tapi dari semua itu ia benar-benar merasakan damai, dan merasa hidupnya seperti kebanyakan orang. Ia bisa haha sana hihi sini, berbincang apa saja yang ia sukai tanpa ada beban sedikit pun. Daripada terus hidup memikirkan hal-hal yang jauh dari kemampuannya. [ads2]
Berjalan dengan pelan ia ke dalam goa amat sangat dalam. Kegelapan, kini benar-benar melahap habis sang jiwa, tapi semakin dalam ia melangkah semakin jelas pulalah banyak bisikan yang terdengar oleh sang jiwa.
“Gi, setidaknya kamu sudah punya sumbu untuk membakar ranting kering itu, agar kamu tak kedinginan. Sadarlah dengan segera, semua orang membutuhkanmu, kamulah sang penuntun kawan-kawanmu”, bisikan itu muncul secara tiba-tiba.
“Aku? Punya sumbu? Tidak mungkin! Sedikit pun tidak ada yang terpantik oleh perbuatanku. Aku benar-benar sendiri. Tak akan ada yang membutuhkan bocah tanpa orang tua sepertiku! Mereka hanya akan mengolok-olok dan mengasihani saja, tidak lebih. [ads1]
Mereka akan selalu mencemooh apa yang aku perbuat. Aku lelah. Aku memilih tinggal bersama orang tuaku dengan segera, daripada terus merebut kedamaian di tangan kekuasaan” bantahnya kesal kepada bisikan tadi.
Sang jiwa tak berbalik ke mulut Goa dan terus memaksakan langkah kaki-kaki yang lelah itu hingga terasa sempoyongan gerak langkahnya.
Hidupkanlah kembali puisi-puisimu, alam merindukan sosok dirimu kemarin, sedikit pun tak ada benci pada diri sang tanah, ia sekarang rindu langkah juangmu Gi. Bisikan lain terasa kembali menghampiri sang jiwa dengan sangat jelas di telinganya.
Baca Juga: Upaya Merawat Ingatan dan Mengolah Renungan
Kali ini ia melangkah dengan menghadapkan pandangannya ke depan. Virgi mulai berbalik melihat kembali cahaya yang sudah ia tinggalkan.
Sekarang kau sempurna, kau bisa sepenuhnya menghargai perasaan orang lain, dan kau akan menjadi sosok manusia yang menjadi contoh untuk kebanyakan manusia lain. Kau sudah bisa menyatu dengan alam.
Sang jiwa menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba, serasa dirinya telah menginjak ranjau. Senyum jahat milik Joker keluar dari wajah sang jiwa, seraya berkata “Aku menjadi contoh? Untuk semua makhluk sepertiku? Termasuk kawan-kawanku? Haha yang benar saja kau ini. [ads2]
Ternyata kau sama bajingannya dengan orang-orang di luar sana. Kau ingin semua manusia menelan buntalan kecil padat penuh dengan kimia, menusukkan cairan kimia pada tubuhnya, dan menghisap butiran-butiran kristal kimia. Kau memang seperti mereka.
Kau ingin menjadi raja di dunia ini dengan menghalalkan semua cara. Kau membunuhnya secara perlahan! Dan lagi, barusan kau bilang aku sudah bisa menyatu dengan alam? Hahahaha…. ternyata benar, aku benar-benar sendiri.
Semua orang menginginkan aku mati, agar tak terganggu dengan kehadiranku. Kalau memang begitu yang seharusnya terjadi, tunggu aku. Aku akan bersatu dengan alam seperti orang tuaku, setelah aku memperbanyak diriku di dunia.”
Baca Juga: Cara Mudah Sembunyikan Pesan Masuk tuk Jaga Privasi di Android
Virgi lalu merasakan kehangatan yang diberikan oleh cahaya, benar-benar hangat. Ia mulai mengerti hakikat hidupnya. Ia bisa menghargai sang cahaya karena adanya kegelapan. Ia berlari dengan cepat dan wajahnya berseri-seri tanda semangat, dan kini ia berdiri tepat pada mulut gua yang kumuh.
Bisikan lain datang menyusul kepada sang jiwa. “Mari, kita mulai kembali perjuangan kita Gi. Kita hiasi kembali tembok-tembok yang tersisa. Kami di sini tetap menunggumu.”
Sang jiwa yang telah lama bertamasya kembali pada sang raga. Ia menabrak masuk pada diri sang raga. Sang raga tetap membisu dan menatap pada cangkir yang ada di hadapannya, tapi tubuh itu menggigil dan tangannya bergetar semangat serta sudut-sudut bibir terangkat amat tinggi hingga terlihat gigi kuning di balik bibir hitam itu. [ads1]
“Terima kasih kegelapan. Aku sangat menikmati kopi hitamku” lirihnya.
Tamu itu serempak menengok kearah Virgi. Mereka yakin betul setelah beberapa menit lamanya tuan rumah membisu baru tadi ia berbicara, tapi mereka tak tahu apa yang sudah ia katakan, karena suaranya yang samar.
“Gimana Gi? Ada apa?” lontaran tanya dari Aep, senior tua di antara ketiga tamu itu.
“Aku akan mewarnai kota ini dengan warna hitam di mana-mana!” jawab Virgi dengan semangat.
Baca Juga: Candaan kalong, Tembakau di tanah surga, Jiwa
Aep, Emul, dan Ujang terdiam keheranan. Mereka sudah tak mengerti lagi apa yang sedang ia katakan dan rencana apa yang ingin ia lakukan. Aep, Emul, dan Ujang saling bertatapan satu sama lain. Mereka yakin efek dari hisapan sebelumnya belum hilang dari tuan rumahnya. Mereka tertawa seketika.
Virgi mengabaikan cemoohan mereka. Ia sudah tahu pasti akan diperolok oleh mereka, bahkan oleh semua orang. [ads2]
Ia menyandarkan badannya pada tembok dan mengarahkan pandangannya kembali ke atas dengan kedua tangan di belakang lehernya. Batinnya lalu berkata;
“Hei cicak. Sekarang aku mengerti dirimu yang terkadang memang menyebalkan. Meskipun sekarang kau sendiri sepertiku, kau selalu melemparkan bom begitu saja sesuka hatimu. Dan sekarang aku akan menjadi seperti kamu. Aku akan melemparkan bom-bom hitam sesuka hatiku.
Kalo kau melemparkan bomnya kebawah dan juga targetmu bukan kepada sejenismu, aku lain. Aku akan melemparkan bomku ke atas dan targetku adalah sejenisku. Kita akan berteman lama mulai esok hari. Tunggu saja.”