Masa kesetiaan anggota atau makesta menjadi momentum sakral bagi generasi muda NU. Para generasi muda yang akan mondok di NU, khususnya di ribath IPNU IPPNU, terlebih dahulu harus mengikuti makesta sebagai jenjang pengkaderan formal paling dasar.
Pada kesempatan yang lalu, syukur diri ini bisa berlatih melakoni peran dari sebuah institusi rumah tangga; dengan menjadi ibu. Berlatih menjadi ibu yang diberi rizki berupa banyak anak, cerdas-cerdas, dan musti dirumat dengan kondisi lahir batin yang cermat.
Meski tak semudah dalam bayangan, namun melakoni peran demikian sangatlah menyenangkan. Sebagai ibu, diri ini tertantang untuk pandai dalam mengatur segalanya agar mencapai sukses saat mentransformasikan hal-hal yang menjadi hak para den bagus juga den ayu yang ada di foto ini.
Membagikan Kertas Origami
Kertas yang kubagikan warna-warni. Mereka berhak memilih kertas manapun yang digemari. Hal tersebut kuproyeksikan sebagai simbol bahwa seorang ibu seyogyanya dapat bersikap adil dalam memberikan kesempatan kepada anak-anaknya. Anak pun tentu akan lega nan bangga, saat mendapat kesempatan (lanjut: kepercayaan) utuh untuk memilih jalan hidupnya. Yang jelas, kepercayaan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Mempersilahkan untuk Menulis
Setelah kertas origami di tangan masing-masing alias kepercayaan sudah diberikan, setiap mereka berkesempatan untuk mengukirnya dengan apa pun dan bagaimanapun. Ibu sebagai support system dapat berperan mengarahkan tanpa kemudian mengurangi atau bahkan menghilangkan hak kreasi anak. Banyak anak pasti banyak karakter, passion, bahkan cita-cita. Di sinilah, biasanya kemampuan ibu dalam ber-self acception atas anak diuji.
Membersamai Prosesnya
Optimalnya tumbuh kembang anak tak seutuhnya menjadi tanggungjawab mereka selaku pemiliki diri. Dan Tuhan selaku penciptanya. Melainkan, ibu turut berperan besar dalam hal ini. Anak menjadi lebih terarah, termotivasi, dan bahkan dapat melaju lebih kencang juga berdasar pada permainan peran seorang ibu.
Boleh saja ibu lebih tua secara usia. Lebih berpengalaman secara perjalanan. Cenderung lebih matang dari segi pemikiran. Namun, relasi yang sehat antara ibu dan anak tak akan mengenal adanya pihak yang menjadi superior (seringkali orangtua). Semuanya berhak untuk belajar, melengkapi, dan bersinergi. Sehingga, melalui komunikasi lintas arah, interaksi terbuka, dan berproses bersama, bahagia tentu akan serta dalam keluarga.
“Sejatinya, IPNU IPPNU tidak terdiri dari orang-orang terpelajar, melainkan orang-orang yang mau belajar. Tidak juga terdiri dari orang-orang bisa, melainkan orang-orang yang mau bisa.”
Mengadopsi dari apa yang disampaikan oleh Gus Chazim Chumaid, seolah benar bahwa termasuk menjadi hal penting dalam hidup adalah adanya ‘kemauan belajar agar bisa’. Pun dalam berorganisasi, menumbuhkan mental demikian turut menjadi keharusan agar dapat membawa diri dan komunal (organisasi) mencapai tujuan yang dicitakan-diikhtiarkan.
Adanya kemauan belajar yang besar, sudah barang tentu akan mengantarkan kita untuk menemukan sesuatu yang baru dan mendapatkan kembali sesuatu yang (mungkin/pernah) hilang. Adanya semangat untuk bisa, jelas dapat mengubah diri kita yang semula tak bisa akan menjadi terbiasa dalam melakukannya.
“Sebagaimana bayi, proses itu dilahirkan dan dibesarkan. Ndak ujug-ujug bisa jalan, atau bahkan berlari kencang.”
Tepat tiga hari lalu, aku kembali menerima kesempatan untuk bertugas membersamai Rekan-rekanita @pelajarnuberbah, dalam prosesi pelantikan yang digelar bersamaan dengan pelantikan kangmas-nya, Gerakan Pemuda Ansor setempat.
Sebagai anak cabang dengan hitungan usia dibawah balita, personalia dalam kepengurusan Berbah periode kedua ini terbilang ‘suwemangat’ untuk urusan belajar. Tentu, semangat tersebut selain merupakan modal pribadi mereka, juga bagian dari warisan periode sebelumnya yang tak kalah semangat.
Diawali dengan mengadakan latihan persidangan tiga bulan lalu, mereka begitu antusias untuk kenalan dengan aturan-aturan organisasi yang salah satunya tertuang dalam pasal, ayat, dan bab pada -contoh- buku materi konferancab.
Kemudian pada momentum konferancab sendiri, mereka-pun secara seksama mempraktikkan apa-apa yang telah dikantongi sebelumnya. Dengan giras, trengginas, dan bebas-lepas hingga menghantarkan Cah Bagus Naufal dan Jeng Dyah jebolll sebagai ketua.
Dan kembali, ibarat bayi baru lahir, yang pada saat aqiqah dicukur rambut sekaligus disahkan namanya, pun dengan mereka juga telah disahkan sebagai pengurus setelah lahir (melalui konferancab) pada Februari lalu.
Hingga, saat merefleksikan beberapa prinsip tersebut, aku teringat akan proses yang telah dilalui Rekan-rekanita Kapanewon Sleman yang luar biasa. Bermodalkan kemauan bersama untuk ‘belajar’, akhirnya ‘bisa’ melahirkan anak cabang baru sebagai ruang berkhidmat (mereka) di NU.
Tentu, harap dan do’a terbaik menyelimuti keduanya beserta rombongan. Semoga selamat hingga akhir kepengurusan, tidak menjumpai rem blong atau kehabisan solar dalam mengendarai organisasinya; IPNU IPPNU. Dua tahun mendatang (dan seterusnya). Amin ya.
Selamat memanfaatkan kesempatan untuk belajar berperan./Lily Awanda Faidatin
Wakil Ketua di PC IPPNU Kabupaten Sleman |