Kepada Bapak

Kepada Bapak – Aku pernah sekali nyeletuk pada bapak perihal ibu. Apakah ibu meninggalkan bapak hingga melahirkanku merupakan hadiah terindah dari Tuhan, bapak kelihatan diam sebentar. Ia lalu menggendongku yang masih duduk di TK kecil, mencium keningku.

Baca juga: Upaya Merawat Ingatan dan Mengolah Renungan

Membisikkan bahwa ketika ibu melahirkanku, ia mengucap shalawat utuh serta senyum merekah mendengar tangis bayi sedang dibedong. Ibu masih tersenyum sambil merem saat bapak mengadzani anaknya, tepat di kalimat dua syahadat ia meneteskan air matanya.

Tiba pada akhir, la ilaha illa allah, sembari bapak tersenyum melihat ibu seperti akan pergi, ia menuntun ibu dan memeluknya erat. [ads1]

***

Umurku sudah seperempat abad dan aku mulai menimbang-nimbang masa depan.

“Nduk, mau ke mana?”
“Keluar, Bude.”
“Hati-hati ya, Nduk.”

Ya. Aku hidup bersama keluarga bude—kakak dari bapak—sekitar setengah jam dari rumahku. Aku jarang di rumah. Seringnya di luar, pagi-pagi sekali hingga larut. Bude sekeluarga tidak pernah menanyakan apa pun kecuali ketika aku bicara langsung. Entahlah, bude peduli atau tidak, aku berusaha menjaga diriku sendiri. [ads2]

Baca juga: Segenggam Mawar dan Puisi Lainnya

Tiga tahun setelah wisuda di perguruan tinggi, aku sering mampir di kedai-kedai kopi sembari melamar pekerjaan hingga sebuah kedai di sudut kota menerimaku. Kedai kecil dengan tempat nyamannya, membuat pelanggan menikmati pemandangan pinggiran kota. Teman-temanku sering datang untuk memamerkan pacar barunya, pekerjaan, hingga hal sepele.

Baca juga: Aku yang Lain

Pukul sebelas malam kedai kututup. Masih terlalu sore sebenarnya tetapi aku ingin sebentar saja menikmati lalu lalang malam. [ads1]

Ketika sedang duduk di antara bangku kedai, sempat kupejamkan mata lalu aku melihat beberapa cicak tanpa ekornya mengejar cicak lainnya. Di kepalaku yang tersimpan penuh memori menyedihkan, bagai cicak tanpa ekor, teriak sepi.

Baca juga: Terima Kasih Gelap, Aku telah Menemukan Terang

Mulutku bungkam tanpa sepeser pun Kuresapi pejaman selanjutnya dan selanjutnya hingga seseorang menepuk pundakku. Mia, seorang teman muslimah saat di kampus dulu. Segera kututupi tato di lengan kiriku dengan jaket. Kusapa ia dan kita memilih untuk saling bertukar senyum.

“Sedang apa, Key?”
“Menikmati malam saja, kau sendiri?”
“Tadi habis beli sabun di mini market, terus lihat kamu di sini kusamperin, deh.”

Udara dingin malam itu membuatku tak kuasa menahan untuk tidak merokok di depannya, kuberanikan untuk meminta izin kalau-kalau ia anti sama perokok. [ads2]

“Silakan, santai aja. Kamu mau pulang jam berapa, bareng aja, yuk.”
“Lima menit lagi ya, sekalian aku mau beli pembalut, mau nungguin?”
“Oke, sekalian deh aku mau cerita he..he..”

Baca juga: Absurditas dan Kesiapan Kita

Sebenarnya kita sering bertemu. Pertemuan tidak terduga, tanpa janjian dan terjadi begitu saja. Ia juga pencerita handal dan aku pendengar setia. Pernah saat itu, ia duduk di bangku kantin sambil menunggu temannya yang tidak datang-datang. Kusamperin lalu kutanya sedang apa ia sambil komat kamit sendiri. [ads1]

“Aku sedang bershalawat atas nabi, karena ini bulan kelahiran beliau aku selalu menyempatkan di mana pun, dan masih belajar walaupun bukan bulan kelahiran beliau.”

Seketika aku ingat ibu. Bapak tak pernah absen menceritakan ibu, segala tentang ibu aku tahu dari bapak walaupun tak pernah bertemu dengannya./Kepada Bapak

2019

zeyla Adillati

Seorang gadis penyayang binatang~

Tinggalkan komentar