Segenggam Mawar dan Puisi Lainnya

Setelah Apakah

Barangkali,
Menjadi padi adalah jalan terakhir bagi mereka
Ia memasukkan tangannya ke dalam saku tua
Api masih mengiang dalam rahim ibu

Desis ular di atas kepalamu membuatku merasa takut merengkuhmu dari belakang
Bulan Valentine, kau dan putri malu
Aku mencintaimu tanpa ayat-ayat setan dan Tuhan

Aku mencintaimu tanpa hutang dan tulang
Rusuk yang kau pinjamkan sedari dulu
Berdua di bawah payung gelisah dan tampak pasrah

Dan tiga kelopak bunga itu kau tinggalkan dengan masuk ke dalam suara
Diapit segala durjana yang terurai di abad yang tengah berlari
Diri
Sendiri

Yogyakarta, 2020.

Prolog Yogyakarta Setelah Dialog Itu

Ia tak lagi berbentuk seperti hujan
Mereka menutup hari
Menghitung jari
Dengan melepuh

Seperti Saijah dan Adinda
Di bawah sepatu lars koloni
Mencekam bagai langit tak berbintang

Di samping telaga aku berjanji
Di atas kuda aku berjanji
Di bawah jembatan aku berjanji

Waktu menyimpanku sebagai makanan siap saji
dan kesunyian sebagai lauk di atas batu terkutuk
Seperti pasir dalam mulutmu
Segala pujian kuhaturkan kepadamu

Adakah kegilaan yang sempurna di kedua bola mata ini?
Jika ada, mungkin itu kau.

Malam itu,
Kau dekat sekali dengan sepasang alisku,
Kau lupa berpamitan denganku dan waktu.

Panah pagi menghunjam tubuhku. Dirajam tiap lekuk jalan setapak, menari di atas tangisan, bergelora di atas pujian para (penis)ta.
Bermukim pada suatu ingatan di kota ingatan
Di kota yang terbuat dari candi dan rumit oleh kisah cinta yang pahit.

Yogyakarta, 2020.

Segenggam Mawar

Ia cemas meninggalkan sebuah telur kecil di sarangnya
Mencari secawan api lalu pergi
“Ini bukanlah Argentina!”, katamu. Sebab ia tak mampu Ia cemas meninggalkan sebuah telur kecil di sarangnya

Mencari secawan api lalu pergi
“Ini bukanlah Argentina!”, katamu. Sebab ia tak mampu lahir kedua kalinya dan tak mungkin kabur sedini ini.

Lahir kedua kalinya dan tak mungkin kabur sedini ini.
Yogyakarta memiliki langit berwarna merah hari ini, lantas kapan kau menjelma warna itu?
Saat tidur melesapkan ingatan-ingatan tentang cinta, menguar serupa aroma parfum yang melewati rongga hidungmu.
Segenggam kelopak mawar, serta serpihan-serpihan cermin yang kau pecahkan sebelum aku menyentuhmu kembali

Yogyakarta, 2020.

PROSA KEMATIAN

Aku mencari sebuah gurat
Di ruang lapang di ujung selat memahat waktu
Menciptakan setumpul jarum
Aku tak ingin mencarinya dalam jerami-jerami yang bukan milik para petani

Prosa kematian telah menanti
Menyanggah yang papa
Kutaburi susuk-susuk penawar sendu

Tak ada peristiwa seperti Dewi Dresnala dan seorang Gatotkaca menyungkah serat-serat rindu
Yang kutumbuk pelan
Menuju ke dalam tamat

Tak ada cinta seperti udang di balik batu
Yang ada malah tungku berjajar di bara apimu

Aku masih menciptakan jam
Melewati kompas yang bisu
Mendawai seluruh ribang anaku

Tunggu saja!
Sebentar lagi ia akan tumbang menjadi belulang yang menyesal tersungkur dan menjilat telapak kaki ibuku

Ketika legam menunda sunyi-sunyi yang jarang itu
Aku menuntunnya di jalan berbatu tanpa sandal bekas begundal
Kugandeng erat seperti tali yang akan mati
Digantung bulan-bulan yang tak mempunyai nama

Yogyakarta, 2020

Laut Merah

Laut merah menelan tokang-tokang dan orang-orang berkepala tupai dan kancil
berpakaian sedikit rapi dengan perut bola seperti kuda laut hamil tidak pula puan dan tuan
dan kenangan terombang-ambing di atas buih-buih limbah berserakan di sepanjang perjalanan setelah bulan memanggil matahari yang melepas cincinnya

Mungkin, aku akan seperti akhir pekan
Selalu dinanti oleh sekawanan kuda yang berpacu dalam melodi

Hujan menghapus langkah ayam
Ia menaruh telegram di atas meja belajar

Tunggu aku!
Ketika mentari sedang mengobrol asyik dengan hujan
Payung terbalik bersembunyi dalam bilik
Tak kusangka sore itu ia membaca sajak pada dinding yang berlilit kawat penuh lumpur juga bercampur sedikit tawa

Kusudahi pujian hari ini
Ia menoleh ketika aku mulai bersandar di keningnya
Terlontar sebuah luka

Kuerami sampai menetas dan hijau
Aku menolak segala yang berurusan tentang engkau
dan ceracau si gila

Yogyakarta, 2020.

 

Syamsul bahri
lahir di Subang 12 Juli 1995.
Sekarang tinggal di Yogyakarta.
Sajak-sajaknya pernah tersiar di berbegai platform media daring dan luring.
Salah satu puisinya termuat dalam antologi bersama, antara lain:
Carpe diem (Penerbit Halaman Indonesia, 2020).
Buku pertmanya adalah Dandelion untuk Nala! (G Pustaka, 2020).
Bisa dihubungi dan di temui di: Surel: [email protected]. IG: @dandelion_1922.

Tinggalkan komentar