Polisi Identitas

Aku terpaksa pulang telat lagi malam ini, lantaran hujan deras yang tiga hari belakangan tumpah seperti pelampiasan. Yang membuatku jengkel ketika pulang telat seperti sekarang adalah aktivitas yang aku lakukan selanjutnya, berjalan menyusuri rute pulang yang katanya angker dan harus melewati pos-pos penjagaan. Belum lagi ditambah harus membeli makan di warung-warung kecil yang kebanyakan sudah tutup karena hari menjelang larut. Bisa dibilang kejengkelanku ini seperti gerutuan orang yang tidak berguna sama sekali hidup di dunia. Orang yang hidupnya hadir sebagai penggenap segala kesusahan yang tak berkesudahan, dan hilangnya tidak akan berefek apa-apa. Dengan kata lain, ketika aku mati di perjalanan pulang malam ini pun dunia akan terus berputar, tanpa merasa kehilangan sesuatu. Mungkin terdengar sedikit berlebihan, tapi apa yang aku rasakan itu adalah pengakuan singkat terjujurku selama hidup di dunia.

Masih lima ratus meter lagi sebelum aku sampai pada pos penjagaan pertama. Bermodal jaket anti air yang masih tembus oleh hujan, dan menutupi kepala dengan topi pemberian teman perempuanku, aku nekat menerobos hujan yang lumayan deras malam ini. Terlihat samar-samar pos penjagaan masih ramai, berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Entah apa sebab yang membuat pos penjagaan masih menyisakan antrian pemeriksaan seperti malam ini, tapi yang jelas ada mobil terparkir di pintu masuk pos penjagaan.

Setelah tiba dan mengekor antrian yang tersisa malam ini, akhirnya aku tahu sebab pos penjagaan masih ramai. Ujar lelaki tua yang tiba sebelum aku, antrian ini terjadi gara-gara ada tokoh penting yang mengendarai mobil mewah itu. Sudah semenjak setengah jam yang lalu dia berbincang dengan para penjaga yang ada di pos, tanpa menghiraukan antrian yang muncul gara-gara keasyikan pribadinya. Aku hanya bisa menggerutu dalam hati. Sebab memprotes hanya memperpanjang masalah dan menyebabkan aku semakin terlambat untuk pulang.

Setelah lima menit setibanya aku di antrian, akhirnya percakapan antara tokoh yang tidak kukenal itu selesai, dan antrian akhirnya mulai maju secara perlahan. Lelaki tua yang memberi tahuku tadi ternyata menunggu proses pemeriksaanku selesai, dan mengajakku berbincang selama perjalanan pulang. Demi membunuh waktu katanya, dan kebosanan karena harus melewati dua gerbang lagi untuk tiba di daerah kami tinggal.

“Kau tahu tidak, tokoh yang menyebabkan antrian tadi?” tanya lelaki tua yang berjalan di sampingku ini.

“Entahlah, wajahnya terlihat asing bagiku. Mungkin lantaran aku juga baru setengah tahun tinggal di sini” ujarku padanya tanpa berharap ia akan meneruskan obrolan.

“Orang tadi itu adalah orang yang cukup disegani di wilayah kita tinggal. Bukan hanya dikenal sebagai intelektual muda berbakat, ia juga seorang pengusaha sukses dan merangkap jadi kyai.”

“Haaa? Apa-apaan itu pak tua? Kamu kira status kyai itu pekerjaan sampingan?”

“Aku sudah mengira kamu akan bilang begitu. Tapi bukan maksudku sebenarnya untuk merendahkan status kyai. Dari isu yang aku dengar, perjalanan karir orang tadi memang seperti itu. Mula-mula ia dikenal oleh orang-orang top di daerah sini sebagai pemuda yang pemikirannya cemerlang. Oleh sebab itu pula, awalnya ia sering mengisi acara-acara penting yang diadakan oleh orang-orang besar. Kabarnya dia punya penerbit buku yang lumayan besar, dan dari sanalah kemudian orang mengenalnya sebagai pengusaha sukses. Terus akhir-akhir ini, setelah dikabarkan hidupnya sudah lumayan mapan, ia mulai serius mendalami ilmu-ilmu agama. Dari sanalah kemudian identitasnya menjadi beraneka ragam itu.”

Aku hanya sedikit tidak habis pikir, lelaki tua di sampingku ini berbicara seolah-olah dia mengenal baik orang tadi. Cara bicaranya menandakan kalau ia mendukung sekaligus mengagumi orang itu. Dan entah kenapa aku tidak bersemangat sama sekali mendengar penjelasaanya barusan. Toh untungnya juga apa buatku? Gerutuku dalam hati. Kenapa pula ia malah repot-repot menjelaskan semua itu.

“Oh ya? Kalau begitu dia bukanlah orang yang akan mengalami kesusahan ketika harus melewati polisi identitas?”

“Polisi identitas? Maksudmu orang-orang di pos penjagaan?”

“Ya siapa lagi kalau bukan mereka? Ketimbang menyebutnya sebagai satpam distrik, aku lebih senang menyebutnya dengan polisi identitas.”

“Hahaha, selera bercandamu berkelas juga anak muda”.

Tawa lelaki ini mengagetkanku sekaligus membuatku was-was. Kupikir dia hanyalah pengagum fanatik dari orang yang sukses ketika masih muda, ternyata otaknya juga sedikit geser menurutku. Ketika waktu hampir menunjukkan tengah malam begini, belum pernah aku mendengar tawa sekeras itu selama setengah tahun pindah ke sini. Salah sedikit kami dikira sebagai homo yang terlalu asyik berjalan berduaan di tengah gerimis seperti ini.

“Apa ada yang salah dari istilahku barusan pak tua? Tampaknya kamu kelihatan sangat senang dengan istilah yang aku lontarkan barusan?”

“Tidak, tidak ada yang salah. Sah-sah saja kamu mau menamai para satpam itu dengan sebutan apa. Toh temanku juga menyebut mereka sebagai penjaga malam, karena harus begadang sampai pagi untuk menjaga keamanan di wilayah sini. Tapi sejujurnya aku jadi penasaran, kenapa kamu punya istilah yang tidak lazim itu? Berasal dari manakah kamu sebelumnya?”

“Aku hanyalah orang yang berasal dari daerah yang penuh konflik. Di tempat tinggalku sebelumnya, perang antar suku dan organisasi adalah hal yang biasa. Pihak keamanan di sana kami namai dengan sebutan polisi identitas. Lantaran penilaian sinisnya terhadap orang-orang sepertiku.”

“Orang-orang sepertimu?”

“Ya, orang-orang dengan jumlah kekayaan di bawah standar hidup yang bisa dibilang enak, dan kerjanya serabutan serta belum tentu bisa makan tiga kali sehari dalam seminggu.”

“Aku kira kamu terlalu berlebihan menyamakan satpam distrik ini dengan pihak keamanan di tempat tinggalmu sebelumnya.”

“Awalnya aku juga merasa begitu, tapi setelah tiga bulan tinggal di sini akhirnya aku tiba pada kesimpulan tadi. Bukan hanya karena mereka berpandangan sinis terhadapku, tapi sikap dam perlakuan mereka yang membedakan orang-orang dari tingkat kekayaannya. Jika aku boleh bertanya, apakah kamu tidak keberatan harus mengantri seperti tadi pak tua?”

“Kalau boleh jujur, aku sebenarnya merasa keberatan dan sedikit iri dengan orang yang memakai mobil mewah tadi. Tapi setelah kupikir-pikir kembali, tidak ada salahnya melihat sedikit lebih lama orang yang bisa sukses di umurnya yang semuda itu. Sekaligus aku juga ingin menunjukkan kepada anak-anak muda sepertimu, bahwa perlakuan dunia akan berbeda jika kamu menjadi orang yang sukses, dalam artian punya sedikit harta yang bisa kamu banggakan.”

“Oh, ternyata kamu sama saja dengan orang tua pada umumnya.”

“Hahaha, terima kasih karena sudah menyamakanku dengan orang-orang tua lainnya.”

Kali ini tawanya lebih keras dari yang tadi. Aku sudah tidak merasa was-was dan memilih lebih bodoh amat dengan sikap lelaki tua yang bahkan belum aku ketahui namanya ini.

Tinggalkan komentar