Negara Melodrama: Ironi Masyarakat Melodrama

Suatu malam aku melihat adikku sedang asyik menonton televisi, penuh rasa antusias. Terlihat di layar kaca tersebut adegan pasangan yang sedang bertengkar dengan penuh emosi, tentu itu opera sabun yang biasa disebut sinetron di Indonesia. Sekarang ada di depan mata seorang anak kecil berusia 5 tahun. Setelah beberapa menit duduk bersama di depan televisi, aku minta dia berbagi cerita tentang alur yang sudah dia lihat. Terdengar seperti dongeng–tentu saja karena dia melihatnya setiap hari di waktu yang sama.

Aku tidak akan menjelaskan cerita adikku tentang sinetron yang ditonton dalam percakapan diatas—meskipun itu bagiku sangat menarik. Intinya, dia yang saat itu masih berusia sekitar 5 tahun (saat itu) dan sangat menikmati hiburan yang ditayangkan salah satu stasiun televisi. Setiap hari di waktu yang sama. Anteng. Khusyuk. Hingga hari ini.

***

Berbicara tentang sinetron di Indonesia tentu akan sangat menarik. bahkan dari aku kecil, sebelum bisa menikmati televisi, para orang tua di sekitar rumahku telah menikmati sinetron dengan total ribuan episode setiap harinya. Tayangan yang berlangsung kejar tayang setiap hari di televisi tentu menyisakan pengaruh besar selama puluhan tahun di Indonesia hingga hari ini.

Televisi secara tidak langsung berdampak pada budaya masyarakat. Dalam “Negara Melodrama” Garin mencoba untuk memahamkan masyarakat pembaca tentang kenyataan bahwa kita telah terdidik oleh televisi selama lebih dari seperempat abad. Buku ini merupakan kumpulan esai populer dengan perspektif media yang kebetulan terbit bertepatan pada saat momen pemilu 2019.

“Melodrama dalam kajian budaya telah melewati batas-batas semata genre dan fiksi, bertumbuh menjadi cara pandang, cara kerja dan cara bereaksi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, termasuk terhadap situasi puncak pemilu.” (hlm, 3)

Lingkungan kita dipengaruhi oleh media. Bentuk masyarakat hari ini kurang lebih sama dengan apa yang dibingkai Garin dalam beberapa esainya, terpengaruh dan tidak lepas dari media.

Masing-masing media punya pandangan berbeda. Sehingga, orang yang memandang media dipaksa cerdas memilah. Kenapa dipaksa? Karena memang keadaan zaman sudah berubah. Apa hubungannya dengan pemaksaan? Sederhananya ada bakal rasa  ketinggalan zaman yang tumbuh, atau istilah kerennya menjadi kudet (kurang update). Alhasil beberapa orang yang terlalu kenyang mengonsumsi informasi bingung untuk menyaring kesehatan informasi tersebut di kepala.

Ketika tidak mau dianggap kudet, sebagian dari kita menjadi konsumen media secara terpaksa. Akhirnya, bukannya kita yang memilih dan mengonsumsi pilihan itu. Bisa jadi kita yang tercekoki pilihan yang disediakan media. Mungkin juga  Ironi tersebut menggelitik Garin untuk merangkum tulisannya menjadi satu karya “Negara Melodrama” dengan perspektif unik sang seniman yang bergelut di dekat  lensa.

“Kultur melodrama bertumbuh dari generasi televisi dan terus berkembang dalam pegas teknokapitalis digital yang dipegang di tangan setiap warga.” (hlm. xxii)

Narasi itu diperkuat lagi dengan jumlah gawai (Smartphone) yang dua kali lipat lebih banyak dari jumlah warga negara Indonesia. Disandingkan ironi bahwa Indonesia meraih posisi akhir masalah tradiri literasi. Memang perkembangan teknologi tidak bisa dicegah. Awal dari perkembangan teknologi –pun didasari oleh kepentingan manusia untuk meng-instant-kan semua kegiatannya.

Dunia Rasan-rasan: Dari Media Sosial hingga Dunia Nyata

Rasan dalam bahasa umum orang jawa juga dapat berarti menggunjing, meskipun bisa jadi lebih dari itu. Sejauh yang saya ketahui –sebagai orang jawa—berarti  membicarakan sesorang ketika orang itu tidak ada. Praktik ngerasani (kata kerja) sebelum adanya media massa hanya menggunakan media kelompok yang menyebarkan keburukan orang dari mulut ke mulut. Keburukan menjadi rasan (hasil) utama dari  ngerasani. Namun, ngerasani dalam buku ini bisa dikemas lebih berbobot selain karena di zoom-out untuk membahas negara.

Tidak seperti arti umumnya. Hasil ngerasani Garin disini tidak bisa diartikan menjadi omongan tentang hal buruk. Rasannya dikemas dengan banyak tawaran solusi dan harapan terlepas dari ironi yang dia bahas, yang mungkin ketika rasan tersebut tidak segera ditanggapai negara, maka dapat membahayakan negara itu sendiri. Kemunculan buku pas bersama momen pesta demokrasi.

Masyarakat Melodrama dan Negara Melodrama menjadi satu kesatuan yang berhasil dia bungkus dengan besarnya kapasitasnya. Momen perpolitikan di era ini menjadi sumber pengamatan yang pas untuk mengukur kapasitas masyarakat melodrama Indonesia.

Negara melodrama –pun ikut meramaikan pesta demokrasi dengan menyajikan drama kolosal pemilu dan mengajak masyarakat andil dalam alur drama tersebut, mulai dari kampanye emosional di media sosial (kampanye hitam, putih atau apalah sebagainya) sampai proses debat yang ditata sedemikian rupa,

“Simak pula, komentator televisi yang menyebut istilah “Presiden di depan wall of fame” ketika Presiden berjalan ke luar ruangan debat.” (hlm. 18)

Garin dan Negara Melodrama

Negara melodrama penuh dengan gosip. Garin menganggap gosip Umumnya diartikan sebagai Desas-desus atau selentingan berita yang tersebar luas atau menjadi rahasia umum, tetapi masih diragukan kebenarannya.

“Harap mafhum, pada masyarakat yang belum dalam kultur data dan fakta, maka media baru menjadi medium terbesar gossip.” (hlm. 56)

Banyak contohnya ada di sekitar kita. Mulai dari masyarakat yang gandrung akan viral, namun ketenarannya terkesan singkat. Bahkan sampai ada yang rela melepas pengabdiannya sebagai polisi hanya untuk menyabet ketenarannya pasca berjoget di sosial media. Namun karena gagal menarik massa (followers sosial media), ketenarannya hanyut ditelan bumi. Setelah itu pun muncul viral-viral lain yang menempel di jagad layar kaca Indonesia dengan siklus yang sama dan dalam bungkus drama seperti sebelumnya.

Drama tak hanya terjadi pada kalangan masyarakat biasa. Sistem yang ada juga bisa diolah menjadi penuh drama dengan campur tangan kreatif-kreatif di dunia layar kaca. Berkaca dari proses pesta demokrasi kemarin, sudah jelas bahwa pemilihan umum pun ketika sudah masuk media akan menjadi melodrama. Berdasar pengertiannya tentang masyarakat melodrama, kondisi di Indonesia membuat ia harus segera berkomentar sebagai budayawan yang bersenjatakan pena dan lensa.

Demokrasi dibedah berbekal pengalamannya menjadi koordinator NGO (Non-Government Organizer) bidang komunikasi budaya yang ditekuni. Garin Nugroho merupakan lulusan Fakultas hukum IKJ yang lahir pada tahun 1961. Meraih penghargaan peran budaya tertinggi dari pemerintah Perancis (the ordreds arts de letter) dan penghargaan Internasional lain lewat karya-karyanya. Ia bahkan dijuluki pelopor film generasi baru pasca krisis 1990. Film “Guru Bangsa: Tjokroaminoto” dan “Kucumbu Tubuh Indahku” menjadi beberapa masterpiece hasil ketajaman pemikirannya.

Pengalamannya menjadi pisau pemikiran yang tajam dan unik. Misalkan rasan Garin tentang semua presiden Indonesia dikemas dengan perspektif aktor layar tancap. Dalam era perpolitikan yang serba paradoks –menurut Garin, dari era dimana masyarakat yang bisa pertisipasi aktif di perpolitikan negara (meskipun sebatas rasan-rasan di sosial media), antara negara dan masyarakat.

Masyarakat melodrama bisa membentuk negara melodrama. Tapi negara melodrama dapat memanfaatkan peluang untuk semakin mendramatisir pola pikir sehingga menguntungkan beberapa kelompok dalam sebuah agenda besar. Sehingga pertanyaannya, siapa yang akan menyadarkan masyarakat dari lingkaran penuh drama emosional ini? Tapi apakah manusia melodrama bisa hidup tanpa drama? Apakah kita masih membutuhkan sosok pahlawan di era melodrama ini? Sunggah dramatis jika semua drama ini berakhir happy ending. Wallahu a’lam.

IDENTITAS BUKU

Judul Buku : Negara Melodrama
Penulis: Garin Nugroho
Penerbit: Gading, Yogyakarta
Tahun terbit: 2019
Jumlah halaman: 216 hlm

Kebetulan masih berkuliah di UIN Sunan Kalijaga dan sekarang berproses di PMII Rayon Pondok Syahadat (RPS)

Tinggalkan komentar