Penulis: Vander Setia Nugraha
Besok lebaran haji, lebaran yang identik dengan kambing dan sapi. Tak ada renungan dan ingatan yang terhubung kepada janji. Senyum mengembang yang bersanding dengan lesung pipi, adalah bukti bahwa kita masih berusaha memberanikan diri. Satu hal yang seharusnya membuat kita tetap kuat sampai sekarang ini, tidak lain adalah cerita yang akan kita ukir di kemudian hari.
Di siang yang mendung ini, saya masih ditemani dengan secangkir kopi, dengan khayalan yang masih tinggi. Masih dengan beribu mimpi yang berteriak ingin membumi. Yang menari-menari dan mencoba berlari dari ketakutan. Yang terus belajar terbang tanpa takut akan pecah terbentur duri. Bukankah mimpi adalah ketidakpastian yang lain? Keanehan yang membawa rezeki lain? Bukankah mimpi membuat kita selalu belajar dari kesalahan yang telah lalu, dan terus berusaha memperbaikinya sebagus mungkin.
Kurang-lebih sudah enam kali saya tidak merasakan suasana lebaran haji di rumah. Jika ditanya, apakah ada hal yang sangat saya rindukan ketika menjelang perayaan haji seperti sekarang? Maka jawabannya ‘sangat banyak’ dan sukar untuk saya jelaskan. Biasanya, sewaktu belum merantau dulu, saya selalu bertugas membersihkan ayam yang akan diolah pada malam menjelang lebaran. Tidak lupa pula saya bertugas mengumpulkan kayu bakar sebanyak mungkin, dan menjaga perapian belakang rumah agar tetap menyala.
Segala hal kecil yang bisa jadi saya rindukan ini, sayangnya hanya mampu saya kenang dan pendam begitu saja. Hanya untuk mengucapkan kalau saya rindu dengan segala kegiatan menjelang lebaran seperti sekarang, rasanya saya tidak mampu. Saya tidak ingin menambah kesedihan kedua orang tua yang menaruh harapan besar kepada saya. Dan sebenarnya saya juga termasuk orang yang sangat cengeng jika sudah bersinggungan dengan hal semacam ini. Oleh karena itu, saya lebih memilih mencurahkan perasaan saya pada tulisan ini saja.
Tampaknya, lebaran haji tahun ini harus diredam sama seperti perayaan Idul Fitri sebelumnya. Menurut saya, umat manusia sampai lebaran haji kali ini, belum benar-benar belajar dari adanya pandemi. Banyak hal yang sebenarnya masih terus kita abaikan sampai sekarang. Mulai dari hal besar yang punya pengaruh signifikan, sampai kepada hal-hal kecil yang bisa jadi tidak pernah kita sadari. Tentu saja, saya juga termasuk orang yang melakukan kesalahan tersebut, dan terus melanggengkan ketidaknormalan dan berdalih melalui pembenaran-pembenaran.
Sampai detik ini, sudah berapa banyak kiranya kita lebih peduli pada lingkungan sekitar? Mulai dari orang-orang yang ada, alam, hingga makhluk lain yang terus berusaha hidup berdampingan dengan umat manusia. Sekilas dan dalam kurun waktu yang teramat sebentar, banyak wajah yang muncul ketika pandemi ini. Mulai dari wajah penolong, wajah bijaksana, wajah yang berwibawa, hingga wajah penuh iba. Sulit untuk mengakuinya, apakah memang wajah-wajah tadi adalah wajah kita yang sesungguhnya? Ataukah jangan-jangan, kita hanya sedang menyamar?
Saya tidak akan mempersoalkan siapa, kapan, dan di mana detailnya. Karena menurut saya, kita sama saja satu sama lain. Tidak ada yang lebih baik ketimbang yang lain, dan tidak ada yang lebih buruk dari yang lain. Semua hanyalah soal waktu, sebelum kita kembali pada yang semula, atau berubah sama sekali menjadi yang berbeda. Seperti kopi yang menyisakan ampas, seperti lintingan tembakau yang menyisakan abu, pada akhirnya semua akan terbukti dan meninggalkan jejak yang tidak bisa ditutup-tutupi.
Apa pun yang dapat kita kumpulkan dari kisah selama pandemi ini, adalah sajian dan ujian yang berimbas pada watak dan semangat kita. Hingga, setidaknya kita dapat benar-benar mengerti dengan yang namanya ‘nasib dan takdir’, dan tidak lagi sekonyong-konyong menyalahkan Tuhan. Terharu, mungkinkah kita layak dengan kata itu? Ataukah jangan-jangan kita tidak mampu berteman dengan keadaan? Apalagi berdamai dengan segala yang menimpa kita, dan yang ada kita malah menganggapnya sebagai sebuah kekacauan.
Belum lama ini, dalam suatu obrolan santai di sebuah warung kopi, seorang berteman bertanya bedanya tulus dan ikhlas. Pertanyaan yang sebenarnya sangat filosofis dan menjebak. Kenyataannya, bisa jadi kita selama ini hanya memiliki jiwa dan hati yang tulus, tetapi belum tentu ikhlas sama sekali. Bukankah kita terus berusaha mengingat segala kebaikan yang pernah kita berbuat? Pertanyaannya, untuk apa kira-kira semua itu? Apakah hanya untuk eksis di mata dan hadapan manusia? Pertanyaannya lagi, merasa sucikah kita dengan semua itu?
Hai jiwa-jiwa yang selalu mencoba ikhlas dengan segala keadaan, apakah kamu merasakan kepedihan yang sama dengan semua pradugamu? Apakah itu semua karena kamu belajar dari teman-temanmu? Atau dari nasib dan kesalahanmu sendiri selama ini? Percayalah, tidak ada yang lebih dekat denganmu daripada Tuhanmu sendiri, Sang Arsitek sempurna yang melampaui segala kemungkinan yang ada. Tidak ada yang paling mengerti dengan segala kesusahan dan keresahanmu selain Zat yang membuat engkau tetap eksis sampai hari ini!
Segala pesta pasti berakhir, semua perang akan berhenti, semua mahluk pasti kembali, dan semua perbuatan akan menemukan balasan tersendiri. Seperti tinta yang kita gunakan setiap hari, hidup adalah soal tahu batas diri. Seperti mentari yang setia terbit setiap pagi, semua kesusahan adalah guru yang abadi. Oh lebaran haji, akankah kita kembali pada suatu yang Fitri? Akankah kita menjadi lebih baik lagi? Dan apakah kita terus bisa bermimpi di kemudian hari? Semoga saja, apa yang kita dambakan selama ini adalah petunjuk dari ketersesatan selama ini.