mainamin.co – Bicara soal Pramoedya Ananta Toer memang tidak akan ada habisnya, termasuk ketika kita membicarakan karya-karyanya. Salah satu buku dari seri tetraloginya yaitu Jejak Langkah, juga menarik untuk kita bahas. Karena buku ini mengandung banyak hal yang bisa kita ambil dan kita pelajari.
Buku ini mengambil latar abad 20 awal, zaman modern yang dikutuk semua orang agar meninggalkan budaya, adat istiadat, kebiasaan untuk mengikuti kolonialisme Belanda. Zaman modern yang sangat berbeda dengan zaman 19-an akhir.
Zaman ini digambarkan oleh sosok Pram dengan kemajuan teknologi yang bisa dibilang baru bagi sosok Minke itu sendiri. Salah satunya adalah teknologi seperti mobil yang belum pernah Minke temui di kota Surabaya dan kota-kota sebelumnya.
Di dalam novel ini, kita jadi tahu tentang keadaan bangsa kita, bangsa pribumi tempo dulu, bahkan sampai kita mengerti tentang bagaimana cara untuk melawan kolonialisme waktu itu.
Melalui buku ini, Pram melanjutkan perjuangan Tokoh Minke yang datang ke Betawi untuk melanjutkan pendidikanya di Stovia, sekolah kedokteran yang saat ini menjadi Universitas Indonesia. Dengan berbagai bahan yang dia bawa dari kota Surabaya, beliau melanjutkan perjuanganya, yaitu perjuangan dalam hal pendidikan.
Sosok Minke ditampilan sebagai seorang pelajar yang harus bisa membantu dan mengangkat derajat bangsanya pada hari esok. Seperti yang pada buku sebelumnya mengatakan bahwa “seorang terpelajar harus adil sejak pikiran apalagi perbuatan.”
Tidak hanya mengenyam pendidikan saja, ketika berada di Stovia secara tidak langsung menjadi ajang Minke untuk mencari jati diri. Ia harus menahan rasa pedih yang sangat dalam, ketika asramanya menekankan peraturan yang harus ditaati oleh golongan pribumi. Peraturan yang dimaksud adalah peraturan dalam bentuk berpakaian, berbahasa, bahkan sampai tingkah laku layaknya seorang peribumi.
Kita semua tahu bahwa sosok Minke adalah sosok manusia modern, manusia moderat, manusia yang tetap dengan tradisinya. Sosok Minke juga sekaligus adalah sosok yang mengagungkan tentang kebebasan. Kebebasan berpikir layaknya seorang Eropa.
Meski hidupnya terjamin karena mendapatkan pesangon dari gubermen setiap pekan, tapi ia sangat terkekang karena berbagai peraturan yang diterapkan oleh sekolah. Selain itu, Minke harus selalu menggunakan pakaian adat tradisional Jawa selama mengikuti kegiatan sekolah. Seperti memakai destar, baju tutup, kain batik, dan cakar ayam (tidak boleh beralas kaki).
Setelah Annelies Mallema, anaknya Nyai Ontosoroh meninggalkan Minke untuk selama-lamanya, kini putra bupati Bojonegoro itu mengenal seorang putri Tionghoa berkat wasiat yang diberikan Khouw Ah Soe, seorang pejuang untuk negerinya, Tiongkok. Nama gadis yang dimaksud adalah Ang San Mei.
Ang San Mei dengan kulit putih halus dan mata sipitnya berhasil meracuni mata dan hati Minke. Lambat laun hubungan mereka kian memekar hingga akhirnya Minke memperistri Ang San Mei. Ada suatu keajaiban yang terjadi setelah Minke memperistri gadis Tionghoa ini. Pemikiran Minke menjadi semakin tajam dan kritis terhadap Belanda kala itu.
Muncul suatu keinginan Minke untuk melakukan revolusi di tanah Hindia, seperti yang dilakukan gerakan angkatan muda di Tiongkok, perlawanan rakyat Filipina terhadap penjajahan Spanyol, dan kemajuan pesat bangsa Jepang.
Terbentuknya Syarikat Islam
Setelah melakukan banyak perjalanan dan juga observasi tentang bangsanya dan juga bangsa lain, Minke memiliki keinginan menjadikan bangsanya, bangsa Indonesia, menjadi bangsa yang modern seperti Jepang. Bangsa yang bisa dibilang sederajat dengan bangsa Eropa dalam hal pendidikan, teknologi bahkan juga pola berfikir.
Sampai suatu ketika di dalam kegiatan sekolah di Stovia, Minke mendengarkan ceramah oleh Dr. Wahidin Soedirohoesodo. Ceramah yang sangat penting bagi Minke pada saat itu untuk memulai suatu gerakan di dalam bangsa pribumi. Gerakan yang mampu membuat perubahan besar atas ketertindasan dari bangsa lain.
Beliau menekankan kepada siswa Stovia untuk berorganisasi sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme, dan membebaskan pikiran pribumi dari adem-ayemnya hiruk-pikuk yang terjadi pada saat itu. Kebanyakan pribumi belum sadar dan mengerti akan hukum yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda.
Dr. Wahidin berkata, “Dengan berorganisasi, golongan pribumi akan bangun dari tidurnya. Dengan berorganisasi, akan timbul kesadaran bangsa dalam diri golongan pribumi. Jika tidak berorganisasi, pribumi akan jauh tertinggal oleh bangsa lain. Jangankan setara dengan bangsa Jepang yang sudah sederajat dengan bangsa Eropa, dengan golongan Tionghoa Arab di Hindia saja, golongan pribumi sudah jauh tertinggal.”
Pidato dokter Jawa itu terus terngiyang-ngiyang di kepala Minke. Rupanya kata-kata itu sangat memengaruhi apa yang selama ini ia cita-citakan. Tak perlu menunggu lama, ia segera membentuk organisasi, yang menghimpun semua golongan yang mau bergerak, melawan ketidakadilan pemerintah kolonial, menampung aspirasi rakyat yang tertindas.
Berbekal beberapa bantuan dari teman sekolah dokter, kalangan priyayi, dan wedana, terbentuklah sebuah organisasi bernama Syarikat Priyayi yang kemudian disahkan oleh Gubermen.
Namun, hanya golongan Priyayi yang hanya bisa bersyarikat, semua kalangan yang menuntut keadilan, yang direnggut haknya, yang tertindas, suaranya yang dibungkam, bersatu dalam Syarikat Priyayi melawan kolonialisme.
Pemerintah kolonial menjadi murka dan tak karuan dengan hadirnya organisasi itu. Ketakutan yang luar biasa lahir di tubuh pemerintah kolonial. Karena dirasa kaum pribumi sudah cerdas. Pada akhirnya Minke menjadi buronan pemerintah kolonial.
Tak lepas dari itu semua, Minke menjadi sosok yang berperan penting didalam organisasi tersebut. Adanya dorongan dari siswa Stovia dan juga ceramah dari Dr Wahidin itu sangat berpengaruh besar untuk kemajuan bangsa pada saat itu. Minke menjadi penggerak didalam organisasi ini.
Jurnalistik sebagai Alat perlawanan Kolonialisme Belanda
Raden Mas Tierto Adhi Soerjo adalah bapak pers Nasional Indonesia. Julukan itu didapat ketika beliau bisa dibilang menjadi jurnalist yang berhasil pada saat itu. Karena saat itu beliau bekerja sebagai penulis koran dengan nama samaran Maxx Toteller. Nama pena yang cukup menarik untuk digunakan pada saat itu. Hal ini yang kemudian dijadikan inspirasi oleh Pram untuk membuat tokoh Minke dalam novelnya.
Sosok Minke dalam buku ini digambarkan gemar mengirim tulisan-tulisanya di koran-koran milik Belanda, yang notabenenya banyak merugikan rakyat pribumi. Begitu banyak kasus yang dapat Minke tulis di dalam tulisanya. Terutama soal mengecam sistem pemerintahan milik Belanda. Tidak berhenti sampai di situ, bahkan ia juga memberikan semangat terhadap rakyat, bahwa negara yang di jajah oleh bangsa asing bisa merdeka seperti apa yang di inginkan oleh semua orang.
Lembaga Pers pertama yang ada di nusantara adalah “Medan Prijaji”. Media ini didirikan langsung oleh Minke (Raden Mas Tierto) untuk melakukan perlawanan terhadap pihak Belanda. Cara perlawan yang dilakukan oleh tokoh ini sangat unik dan menarik. Yaitu perlawanan menggunakan tulisan. Ini juga merupakan alternatif untuk bangsa pribumi saat itu.
Yang menjadi pertanyaan adalah, seberapa penting Pers pada saat itu? Menurut saya pribadi sangat penrting. Karena cara yang paling memungkin untuk menyadarkan bangsa ini adalah dengan menggunakan tulisan yang ada di koran.
Di samping perlawanan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi modern yang ada pada saat itu, Pers secara tidak langsung—diakui atau pun tidak—menjadi salah satu bentuk terpenting dalam sebuah perjuangan. Jika organiasi bekerja di dalam perumusan dan tata cara bagaimana negara ini bisa merdeka, pers berjuang dan membantu bagaimana sebuah organisasi bisa mewujudkan tercapainya kemerdekaan dengan cepat.
Sosok Minke di dalam buku ini bisa menjadi contoh untuk kita. Ketika suatu gerakan atau suatu tindakan tidak bisa dilakukan, maka salah satu alternatifnya adalah menggunakan tulisan. Tulisan yang ditulis oleh orang yang tepat akan menjadi suatu senjata rahasia bagi orang itu.
Kesimpulanya adalah, suatu perjuangan tidak hanya bisa dilakukan dengan melulu berperang. Perang mungkin adalah perjuangan yang pertama, dan media pers adalah perjuangan yang kedua. Tetapi dengan suatu tulisan, kita juga bisa melakukan sebuah perjuangan.
Semua tergantung keadaan di zamanya. Di zaman atau era minke perang masih relevan dan wajar, tetapi saat ini mungkin perang sudah tidak cocok. Maka, tulisan menjadi hal yang perlu dikembangkan saat ini.
Judul buku: Jejak Langkah
Pengarang: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Tahun Terbit dan Cetakan: Cetakan kesembilan, Februari 2012
Tebal Buku: 724 halaman
Kusnadi Nur Alim: Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga dan kader PMII Yogyakarta. Bisa ditemui di: Facebook; Kusnadi Putra Sarpan, dan Instagram; centiniii_