Mainmain – Apakah kita adalah bagian dari rakyat yang tertindas? Kata tersebut menjadi kunci dan sering diperbincangkan atau didiskusikan oleh sekelompok-kelompok mahasiswa dalam lingkaran penuh makna. Baik di dalam lingkungan kampus maupun lingkaran warung kopi, dari dahulu sampai sekarang.
Dengung suara yang tidak asing namun sakral di jalanan, yaitu “salam mahasiswa, hidup mahasiswa, hidup rakyat Indonesia, hidup buruh, dan hidup wanita yang melawan.” Suara yang keluar itu jelas bukan tanpa alasan. Suara itu lahir atas rakyat yang ditindas oleh pemerintah atau kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat.
Sejarah dan mahasiswa sendiri telah membuktikan bagaimana eksistensi story dan heroiknya perjuangan pergeraka mahasiswa dan pemuda. Dari masa ke masa, lahir dan terus tumbuh kaum-kaum intelektual dan agent of change dari Ibu Pertiwi. Yang berganti hanya aktor dan isu sosial, yang terus melakukan estafet dan mengisi parlemen jalanan.
Jika kita membaca dan sedikit mengingat tentang sejarah pergerakan mahasiswa secara overview atau ikhtisar, gerakan mahasiswa dibagi menjadi empat fase besar. Pertama, periode Pergerakan Nasional (1900-1945), yang kedua, periode Orde Lama (1945-1965). Yang ketiga, periode Orde Baru (1965-1998), dan yang terakhir adalah periode Reformasi (1999-sekarang). Sebagai pembelajaran dari sejarah, penting untuk kita ketahui bahwa setiap periode memiliki zeitgeist-nya, atau semangat pada waktu tertentu masing-masing.
Pergerakan mahasiswa jika dilihat secara kontekstual dan sesuai kondisi zamannya, di mana dinamika sosial politik menjadi acuan dasar dalam pembacaannya. Gerakan mahasiswa identik dengan aksi pernyataan sikap atau penolakan terhadap rezim, dengan cara mobilisasi masa, boikot serta penyikapan terhadap isu-isu lokal, nasional, maupun internasional. Gerakan kedaerahan, dari gerakan daerah lalu ke kota atau nasional.
Metode yang dilakukan biasanya dari aksi damai, audiensi, diskusi, represif, turun ke jalan maupun penyebaran pamplet ke masyarakat. Sedangkan gerakan populer di masa sekarang, yaitu gerakan tagar atau hastag di Twitter atau di media online, atau yang biasa disebut sebagai gerakan milenial. Perannya yang begitu signifikan dalam perubahaan sosial secara langsung, akan membawa perubahan yang lebih baik untuk kepentingan rakyat di tanah Ibu Pertiwi ini.
Yang menjadi pertanyaan bersama, kenapa sering kali kita tidak merasa sebuah kebijakan sudah didesain seperti itu? Jika mahasiswa tidak mengedepankan daya kritis dan analisis, niscaya pergerakan yang progresif akan sulit terjadi. Melihat fenomena sekarang, pergerakan mahasiswa atau organisasi pergerakan sosial pada hari ini menuai pro dan kontranya. Baik itu dari sesama mahasiswa, kaum muda dan kaum tua pergerakan, dan yang lebih memperhatinkan adanya pandangan buruk dari masyarakat terhadap aksi-aksi mahasiswa sekarang.
Contohnya dari aksi di Yogykarta di depan kanror DPRD. Di mana pascaaksi tersebut masyarakat membalas demo dengan demo. Dengan pernyataan menolak demo yang merusak fasilitas. Terlepas dari oknum yang melakukan itu, bukan berarti nama mahasiswa tidak dipandang buruk oleh masyarakat, dan masih banyak lagi aksi demo mahasiswa yang di pandang kurang baik dari masyarakat.
Produk kebijakan yang rancu dan multitafsir dari pemerintah seperti ini, yang banyak melahirkan pemikran pro dan kontranya. Hoax di mana-mana, terutama di media online yang sulit sekali dikontrol. Dan yang paling bahaya adalah pernyataan sikap yang instan atau spontan, tanpa mengkaji atau menganalisis lebih jauh terlebih dahulu.
Jika merefleksikan sejarah pergerakan mahasiswa terdahulu, mahasiswa sebagai garda terdepan rakyat untuk melawan segala bentuk penindasan. Di mana pada saat itu mahasiswa bersama rakyat bersatu melawan rezim yang zolim pada tahun 1998. Di Jogja terutamanya, ada sebutan gerakan dari gejayan menuju senayan. Pada saat itu, bukan hanya mahasiswa saja yang turun ke jalan. Tetapi ada masyrakat, ormas dan tokoh-tokoh agama yang melebur jadi satu.
Lalu, bagaimana dengan pergerakan mahasiswa pada saat ini? Paling jauh kita hanya mampu melihat persoalan secara parisal dan sektoral, sehingga tidak menemukan akar persoalan sebenarnya. Pergerakan yang kurang progresif atau sistematika yang membingungkan, hanya sekadar seremonial saja. Bisa jadi pergerakan pada hari ini hanya menggugurkan kewajiban sebagai mahasiswa, atau hanya sekadar kepentingan eksistensi bendera organisasi masing-masing.
Lantas, dalam pembacaan, mahasiswa hari ini mempunyai landasan pijak yang seperti apa? Atau masih kebingungan dalam menempatkan diri sebagai mahasiswa? Melihat betapa kokohnya pemerintah pada saat ini—yang ketika kampanye janji manis yang dibuat, dan ketika menjabat menyengsarakan—apakah hari ini kita adalah bagian dari mereka?
Jika terus seperti ini, kita hanya akan berada dalam gerakan dan tuntutan yang tidak tuntas. Entah apakah penyebabnya kopi yang kurang banyak, ditambah literasi yang semakin hari semakin menurun di lingkungan mahasiswa, perjuangan sangat mudah sekali dipatahkan akhir-akhir ini. Bahkan, parahnya lagi tidak digubris sama sekali. Pernah terlempar di benakku tentang mahasiswa yang pragmatis dan rezim yang semi otoriter.
Kita adalah bagain rakyat yang tertindas. Problem masyarakat dan mahasiswa merupakan bagian dari satu kesatuan dan menyatukan visi bersama. Tidak perlu lagi ada isu sektoral dan perpecahan di dalam tubuh gerakan saya rasa. Mahasiswa harus hadir bersama rakyat dengan bahasa yang santun dan berintektual sebagi advokasi rakyat. Jangan sampai pandangan tentang mahasiswa sebagai garda terdepan rakyat itu hilang dan menjadi artefak atau mitos yang selalu didegungkan.
Yang jelas, kita harus tetap menjaga relasi antara masyarakat dan mahasiswa, agar pergerakan dan perjuangan memiliki tujutuan dan landasan pijak yang jelas. Terakhir, saya mau mengutip kata-kata seorang jendral dari Tiongkok, “Jika ingin menang dalam peperangan maka harus menguasai medan terlebih dahulu. Sun Tzu.”
Salam mahasiswa
Hidup rakyat indonesia