Mereka yang Mengharap Dasiman Hidup Kembali

mainmain.co – Tak ada lagi air mata yang meluncur dari dua sudut mata Roisah. Mungkin jiwa istri Dasiman itu sudah terlalu lelah.  Atau mungkin dia sudah lega. Kematian suaminya yang selama ini diam-diam ia tunggu akhirnya tiba juga.

Para pelayat sudah pergi sejak tadi. Tentu saja hal itu membuat Roisah semakin lega hati. Perempuan yang sudah kehabisan air mata itu muak betul pada mereka semua. Sangat ingin rasanya ia meludahi muka mereka, yang berpakaian serba hitam seolah ikut berduka tapi sibuk berkasak-kusuk soal Dasiman yang sudah terbujur kaku ditimbun tanah.

Empat pria masih mematung di sekeliling Roisah. Mereka, para penggali kubur itu, sesekali menggaruk kepala dengan tangan yang masih belepotan tanah. Ingin rasanya mereka segera menagih upah yang jadi hak mereka. Tapi tentu saja demi kesopanan mereka tak berani berbuat yang demikian.

Untung saja janda yang baru ditinggal mati suaminya itu punya jiwa yang cukup peka. Roisah segera bangkit dari jongkoknya. Perempuan itu lalu berbasa-basi dengan ketua tim penggali kubur, mengucapkan terimakasih lalu berpamitan pulang. Tak lupa satu slop rokok kretek dan sebuah amplop berpindah ke tangan ketua tim penggali kubur sebelum Roisah meninggalkan area pemakaman.

Sehelai daun kamboja kering luruh dari ranting. Angin musim kemarau membawanya jatuh di atas pusara basah dengan patok dari kayu jati yang bertuliskan nama Dasiman. Pemakaman yang terletak di sisi selatan kampung itu kembali dicekam hening.

Malam harinya, pos ronda yang dibangun di tengah kampung itu mulai riuh oleh kedatangan warga yang dapat giliran berjaga. Wastim, lelaki setengah baya yang kebagian tugas memanggul keranda Dasiman tadi pagi tampak tertidur di pojokan. Lelaki berperawakan sedikit tambun itu meringkuk seperti trenggiling yang sedang terancam. Selembar sarung yang digunakannya untuk membalut tubuh rupanya tak cukup ampuh menghalau hawa dingin puncak kemarau.

“Masih sore begini sudah ngorok saja dia,” kata Pak Dasir saat melihat Wastim tertidur di pojokan pos ronda.

“Dia pasti kelelahan sehabis memanggul keranda mayat tadi pagi,” timpal Karjono. Lelaki berbadan ceking itu membawa seikat gembus goreng yang masih mengepulkan asap.

“Ya pasti capek lah. Si Dasiman itu kan beratnya bukan main. Pas menggotong ke tempat pemandian saja butuh hampir sepuluh orang kok.” Pak Dasir membersihkan permukaan dingklik[1] yang akan didudukinya dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya memegang rokok kretek yang masih mengepulkan asap.

“Hahaha. Untung saja aku ceking begini, jadi tak ada yang menyururhku untuk ikut menggotong mayatnya,” kata Karjono kemudian.

Tiba-tiba saja Wastim sudah bangun. Lelaki dengan tubuh lumayan tambun itu langsung beringsut mendekati Pak Dasir untuk meminta sebatang rokok kretek.

“Aku ikut menggotongnya mulai dari dapur, ke tempat memandikan, sampai ke kuburan. Rontok semua rasanya tulang-tulangku.” Wastim mengeluh sambil meletakkan tanggan kanannya di belakang leher.

“Memangnya dia mati di dapur?”  Tanya Karjono penasaran.

“Iya, di dapur. Di depan sewajan daging celeng[2] bumbu kecap yang tersisa tinggal setengahnya. Edan betul memang si Dasiman itu. Sudah mau mati saja masih sempat pesta begitu.” Wastim menggelengkan kepalanya untuk menunjukkan kalau dia tak habis pikir atas kelakuan Dasiman.

“Oh dia sedang berpesta sama si Badul dan teman-temannya, ya?” Karjono semakin penasaran.

“Iya. Si Dasiman kan habis dapat celeng sebesar kambing gibas kemarin lusa itu.” Kali ini Wastim beringsut mendekati Karjono untuk meminta gembus. Kudapan yang berasal dari parutan singkong yang digoreng itu sudah tak lagi mengepulkan asap.

“Halah, kau juga pasti ikut pesta itu kan, Tim?” Cibir Pak Dasir.

“Hehe iya. Tapi kan aku hanya nyicip sedikit saja, Pak.” Wastim nyengir. Lelaki itu buru-buru melanjutkan dongengnya tentang Dasiman.

“Oh iya, kaget betul aku saat memandikan dia. Di badannya ada banyak sekali tato. Aku tahu dia bertato dari bocah tapi aku tak pernah tahu kalau dia punya tato sebanyak itu.”

“Iya betul. Ada banyak tato yang cabul pula. Aku juga lihat.” Kali ini Pak Dasir yang menyahut.

“Bukannya tidak sah ya wudhunya orang yang bertato itu?” Karjono kembali melontarkan penasarannya.

Tapi rupanya kali ini tak ada yang sudi menanggapi rasa penasaran Karjono. Pak Dasir dan Wastim menganggap pertanyaan Karjono itu tak perlu dijawab karena toh Dasiman tak pernah tersentuh air wudhu. Keduanya bahkan lebih memilih bergabung dengan warga lainnya yang tengah sibuk bermain kartu ceki.

Di suatu malam, dua minggu setelah kematian Dasiman, suara kentongan membelah keheningan malam di pengghujung musim kemarau. Ini kali ketiga kentongan tua yang terbuat dari kayu jati itu ditabuh dengan cara yang begitu riuh. Sebelumnya, kentongan yang tergantung di sisi kiri pos ronda itu juga ditabuh dengan cara serupa, berulang-ulang dengan tempo yang cepat sebagai pertanda ada hewan liar masuk ke kampung.

“Kali ini apa lagi?” Tanya Pak Dasir sesampainya di pos ronda.

“Ada celeng masuk kampung lagi, Pak,” Jawab Karjono yang masih terus menabuh kentongan agar lebih banyak warga yang datang.

“Sialan betul. Andai saja si Dasiman masih hidup, kita pasti tidak akan kerepotan begini mengurus celeng-celeng sialan itu.” Pak Dasir mendengus jengkel. Ia berkacak pinggang lalu membalikkan tubuh untuk kemudian memeriksa seberapa banyak warga yang telah berkumpul di pos ronda.

Tak ada yang sudi menanggapi ucapan Pak Dasir. Mereka semua menganggap ucapan itu tak perlu ditanggapi meskipun diam-diam mereka juga merapal harapan serupa di dalam hati masing-masing. Bunyi kentongan yang ditabuh Kasjono terus mengalun memecah keheningan malam dingin di penghujung musim kemarau.

Cilempuyang, 3 November 2021.

 

 

[1] Kursi kecil yang dibuat dari bahan kayu

[2] Babi hutan

Diniar N. Fadilah

 

Diniar N. Fadilah lahir di Cilacap pada tanggal 4 Mei 1998. Kecintaannya pada dunia kepenulisan mulai tumbuh saat ia duduk di bangku sekolah dasar dan terus diasah sampai sekarang. Cerpen-cerpennya banyak mengambil setting kehidupan masyarakat pedesaan. Selain menulis cerpen, gadis yang sangat mengidolakan Ahmad Tohari ini juga gemar menulis esai. Esainya yang berjudul Menjadi Ken Arok Di Era Global menyabet juara 1 dalam lomba menulis esai yang diadakan oleh Nalar Politik dan IPMAJU. Diniar dapat disapa melalui akun facebook Diniar N. Fadhilah serta instagram dan twitter di akun @dhianufha

Tinggalkan komentar