Mainmain – Seingatku, masa kanak-kanak itu selalu dipenuhi canda dan tawa. Tetapi, setelah aku coba ingat kembali secara lebih mendetail, riwayat kanak-kanakku tidak hanya berisi soal kesenangan semata. Sampai sekarang, aku masih ingat dengan jelas, ketika aku sekeluarga harus pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain. Alasannya sederhana, yaitu soal ekonomi yang belum memadai.[ads1]
Kala itu, orang tuaku bekerja sebagai tukang ojek pengkolan, dengan gaji yang sangat pas-pasan. Beruntungnya, gaji orang tuaku waktu itu bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga yang anggotanya masih berupa aku sebagai anak pertama. Meskipun terbilang cukup, penghasilan orang tuaku nyatanya belum bisa disebut ideal untuk sebuah keluarga kecil. Terbukti dari seringnya keluarga kami yang berpindah-pindah, sebab belum mampu memperpanjang biaya kontrakan setahun ke depan.[ads2]
Baca juga :
– Paduka Rasa
– Tanpa Jawaban, Sajak Hati, Elok tak Berguna, Lilin yang Kecewa
Dari satu hal itu, akhirnya aku sadar, kalau masa kanak-kanakku tidak seindah seperti yang terpikirkan selama ini. Bisa jadi, apa yang akhirnya aku sadari ini, juga banyak terjadi dan dialami oleh sebagian besar orang. Pertanyaannya, apa dan oleh siapa bayangan soal masa kanak-kanak dibentuk agar selalu menyenangkan? Apakah karena faktor tontonan, keluarga, lingkungan, dan pergaulan? Ataukah ada faktor lain yang sebenarnya jarang disadari?[ads1]
Baca Juga :
– Terima Kasih Gelap, Aku telah Menemukan Terang
– Upaya Merawat Ingatan dan Mengolah Renungan
Ada satu buku yang saya anggap bisa menjelaskan dan menjawab beberapa pertanyaan yang saya ajukan barusan. Buku yang saya maksud ini adalah buku kumpulan cerpen. Di buku tersebut, penulisnya banyak membawa suara kanak-kanak ke permukaan, yang semestinya atau setidaknya bisa didengar atau diperhatikan lebih seksama oleh orang-orang yang menganggap dirinya sudah dewasa. Buku tersebut berjudul Penjual Bunga Bersyal Merah, yang merupakan karya dari Yetti A. KA. [ads2]
KESALAHAN YANG HARUS DIBENAHI
Meskipun buku ini lebih fokus mengangkat suara atau semacam teriakan dan jeritan dari seorang perempuan, tetap saja unsur kanak-kanak yang dibawa oleh penulisnya tidak bisa dianggap sepele. Bagi saya, Yetti tidak sekadar mewakili suara perempuan secara khusus, akan tetapi juga mengajak kita untuk lebih mendengarkan keinginan dan harapan dari seoarang anak yang seringkali luput dari perhatian secara umum.
Baca Juga :
– Perpisahan, Kepulangan, dan Kenangan
– Sebuah Seni Memahami Perempuan
Hal ini menjadi menarik untuk diperbincangkan saya rasa. Lantaran, selama ini kita terus didoktrin untuk memercayai bahwa masa yang paling indah dan tanpa beban, itu terletak dan terjadi ketika seseorang berada di fase kanak-kanak. Padahal, sejatinya masa kanak-kanak tidaklah sesederhana itu, bukan? Banyak kesedihan, air mata, dan kenangan buruk yang justru sangat membekas dan terus bertahan ketika seseorang beranjak dewasa, dan semuanya itu terjadi ketika seseorang tersebut sedang di fase kanak-kanaknya.[ads1]
Hal lainnya, kita juga sering abai terhadap perasaan dari seorang anak kecil yang baru mulai belajar mengenal dunia. Kebanyakan orang tua, tentu saja menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Namun, seberapa seringkah orang tua bertanya kepada anaknya, tentang apa yang menurutnya baik tersebut? Lebih seringnya, orang tua hanya menyodorkan pilihan yang terbatas untuk anaknya, tanpa memberikan sebuah kebebasan untuk anaknya memilih, bukan?
Untuk hal ini, saya pribadi sebenarnya juga sempat mengalami. Ada suatu fase di mana saya harus benar-benar taat kepada orang tua saya. Terlebih dalam hal pendidikan formal.
Baca Juga :
– Cintaku Berdaulat Fobia
– Literasi Nutrisi penunjang generasi produktif
Tetapi, bukan lantas saya mengkritik atau menganggap orang tua saya telah berbuat kesalahan dengan tidak memberikan kebebasan. Saya rasa, ada atau tidaknya sebuah kebebasan yang diberikan kepada seorang anak, semuanya memiliki konsekuensi masing-masing. Dengan demikian, saya menyimpulkan bahwa orang tua saya waktu itu lebih siap memilih konsekuensi dengan memberi saya pilihan yang terbatas.[ads2]
DUNIA ANAK YANG KOMPLEKS
Dari buku Yetti ini, saya banyak belajar untuk menyelami dunia anak-anak, khususnya dunia perempuan lebih jauh. Selama ini, saya menganggap bahwa dunia anak-anak itu semuanya sama. Isinya hanya dipenuhi dengan bermain dan bercanda, dan menyingkirkan kemungkinan bahwa kesedihan mendalam juga bisa dialami oleh seorang anak.[ads1]
Padahal, dunia anak-anak sendiri sebenarnya sangat kompleks. Antara anak laki-laki dan anak perempuan sudah memiliki perbedaan yang amat banyak. Belum lagi kalo berbicara soal urutan lahir, tentu akan semakin panjang pembahasannya. Dan secara tidak langsung, di sinilah saya bisa menyebut Yetti sebagai orang yang cakap, dan terampil membuka tabir ketabuan ketika membincang seputar anak-anak.
Baca Juga :
– Tanpa Jawaban, Sajak Hati, Elok tak Berguna, Lilin yang Kecewa
– DESA MANDIRI, DESA MEMBANGUN
Saya pribadi sebenarnya mengakui, kalau buku Yetti ini tidak termasuk buku yang mengasyikkan. Hampir seluruh cerpen yang ada di dalam buku ini terbilang berat dikonsumsi, terlebih sebagai bacaan yang berupa cerpen. Dan oleh karena itu pula, buku ini tidak bisa disebut sebagai sebuah buku yang menghibur dan menyenangkan ketika dibaca. Buku ini seperti mengajak pembacanya untuk berpikir dan merenung lebih dalam, tentang segala kemungkinan yang bisa jadi sering tidak disadari.[ads2]
Namun, di situlah pula letak keunggulan buku ini. Buku ini seakan menjelma sebagai kitab panduan untuk lebih berhati-hati dalam mengambil sebuah keputusan, dan memikirkan segala konsekuensi yang akan muncul di kemudian hari. Pada akhirnya, saya pun seperti diberitahu oleh Yetti, bahwa keputusan terbaik dari seseorang itu tidak jarang akan merenggut sesuatu yang dianggap berharga oleh orang lain.
Buku ini seperti mengajak pembacanya untuk berpikir dan merenung lebih dalam, tentang segala kemungkinan yang bisa jadi sering tidak disadari.