Mainmain – Aktivitas keseharian bisa berubah menjadi racun yang perlahan membuat seseorang mati dalam kebosanan. Banyak contoh film yang menggambarkan bagaimana hidup di kota besar adalah sebuah simalakama. Di satu sisi, kota besar menyebarkan mimpi-mimpi bahwa setiap orang pasti bisa hidup sukses jika menetap untuk mencari sumber penghidupan. Tetapi di sisi lain, kota besar adalah eksekutor yang paling mengerikan dan paling tidak terduga bagi hidup sebagian besar orang.
Tepat pada hari ini, hari di mana kumpulan simalakama yang dihasilkan dari hidup di kota besar benar-benar membuat saya jengkel, kesal, muak dan ingin mengucapkan sumpah serapah. Jam tidur yang tidak teratur, pola makan yang berantakan, kumpulan beban pikiran yang menumpuk di kepala, serta masih banyak hal kacau lainnya, seolah berkumpul menjadi satu ingin menghantam saya.
Terbangun dari tidur dan sudah langsung menghadapi sekian tuntutan—yang tidak bisa disebut sebagai sebuah kewajiban—semakin membuat hari ini terasa begitu melelahkan. Belum lagi dihadapkan kepada persoalan stok uang yang semakin menipis, sedangkan penghasilan juga belum kunjung jelas bentuknya, semakin menguatkan niat saya untuk teriak sekaligus mengeluarkan air mata.
Namun saya berpikir ulang setelah selesai mendinginkan kepala dan pikiran yang berkecamuk. Apakah saya masih kurang bersyukur hari ini? Apakah saya tidak sadar diri dengan segala apa yang sudah saya capai dan dapatkan hingga hari ini? Dan layakkah saya menggerutu, mengumpat dalam hati, dan bersikap seperti seorang pecundang seperti sekarang?
Saya bukanlah orang yang senang menyalahkan keadaan dan melempar segala tanggung jawab kepada orang lain. Tetapi, saya tidak bisa membohongi diri saya sendiri bahwa saya sedang lelah, sedang berada di dalam fase terendah, sedang membutuhkan dorongan semangat yang entah bagaimana bentuknya. Seperti seorang pengelana, kondisi saya hari ini adalah pengelana yang sedang tersesat di padang pasir dan dalam keadaan teramat haus, tanpa pernah tahu kapan akan menemukan sumber air.
Memprihatinkan? Tentu saja tidak. Saya tidak butuh rasa kasihan yang diberikan oleh orang lain, dan jika diberikan pun tentu saya akan menolaknya. Saya hanya ingin sekadar berbagi melalui tulisan ini. Membagikan tentang suara hati saya saat ini. Membagikan keresehan selayaknya manusia biasa yang tidak punya niatan menjadi wali atau orang suci.
Ah, tentang “mengejar harapan”. Saya tidak bisa mengatakan bahwa tulisan ini mewakili dua kata tersebut. Saya hanya berani berujar bahwa semuanya adalah skenario kehidupan. Mau atau tidak, sanggup atau tidak, dan suka atau tidak, hidup adalah soal dua sisi. Sisi senang atau bahagia, dan sisi lain yang selalu ingin kita hindari. Naif bukan? Ya, banyak dari kita hanyalah sekumpulan manusia yang mencoba menampik ihwal sisi yang lain itu.
Apabila saya ditanya, apakah saya mau, sanggup dan kuat, bahkan mampu untuk terus berada di sisi itu? Tentu saya juga akan langsung menjawabnya dengan tegas, TIDAK! Sebagaimana yang sudah saya katakan sebelumnya, saya tidak punya niatan sama sekali menjadi wali atau orang suci. Banyak sisi lain di hidup saya yang penuh dengan cerita kelam, aib, bahkan tidak layak didengar sekalipun. Oleh sebab itu pula, saya merasa masih tetap menjadi manusia biasa.
Ada satu cerita menarik yang belum lama ini terjadi pada saya. Yaitu perihal nasihat. Nasihat yang secara pribadi ditujukan untuk saya—dan besar kemungkinan juga bisa berlaku bagi banyak orang. Secara garis besar, isi nasihatnya adalah mengingatkan saya atas segala cobaan yang sedang saya hadapi.
Waktu itu, jujur kondisi saya masih lebih baik dari sekarang. Tetapi tenaga seperti terhisap habis. Segala stok semangat rasanya entah hilang ke mana. Tanpa diduga, seorang teman menghubungi dan menanyakan kabar saya. Di detik itu pula saya merasa penting dan berharganya pertanyaan soal kabar bagi seseorang.
Teman saya ini, sebenarnya tanpa bertanya pun sudah mengetahui kondisi saya yang sebenarnya. Ya maklum, orangnya memang sedikit indihome begitu. Sampai ke cerita utamanya, saya didorong untuk terus semangat mengejar semua harapan yang saya punya. Saya dianjurkan untuk terus melakukan aktivitas keseharian saya selama ini, yang dia sekaligus saya percayai bisa menjadi fondasi harapan itu. Sebagai penutup, teman saya itu mengatakan bahwa segala cobaan adalah bukti bahwa kita hendak atau akan naik kelas.
Sampai detik saya menulis tulisan ini, tentu saja saya masih memegang perkataan itu. Meski tidak saya jadikan jimat, tetapi saya merasa kata-kata tersebut berfungsi semacam stok semangat tambahan yang sulit untuk saya dapatkan sekarang ini.
Hari ini pula, seorang teman meninggalkan saya untuk pulang ke kampung halaman. Teman sekolah yang sekaligus teman seperantauan ini, pulang dengan membawa dan mengejar harapan itu sendiri.
Untuk saat ini, saya pribadi hanya bisa mendoakan segala yang terbaik untuknya, dan berharap ia akan selalu baik-baik saja dengan kepulangannya ini. Saya berharap bahwa ia bisa sampai di kampung dengan selamat tanpa kurang suatu apa pun. Sekaligus saya memiliki harapan bisa bertemu lagi dengannya nanti. Entah kapan dan di mana. Yang jelas, saya lagi-lagi menaruh harapan ketika bertemu nanti, kondisi kami jauh lebih baik dari sekarang, serta dalam kondisi dengan senyum sumringah dan bisa bercerita banyak hal.
Dengan kepergian teman saya ini, saya menyadari satu hal dan menyesali banyak hal. Yang saya sadari, bahwa mengejar harapan tidaklah semudah bacotannya motivator di luar sana. Proses mengejar harapan haruslah berdarah-darah dan benar-benar menguji mental. Sedangkan yang saya sesali, saya hanya punya sedikit waktu yang saya habiskan bersamanya ketika di perantauan.
Dengan berbagai harapan yang sudah saya tanam sebelumnya, saya cuma menginginkan semuanya tidaklah menjadi janji palsu semata. Sudah cukup rasanya pemerintah saja yang suka banyak janji, dan jika ada seseorang yang suka banyak janji, bisa jadi dia ingin jadi pemerintah~