Mainmain – Makan Pagi Pito | Pito mencari burungnya. Ternyata cuma nongkrong di ranting pohon mangga di depan rumahnya. Ia tersenyum dan berkacak pinggang, “Aku tahu kau tak akan pergi jauh-jauh dari rumah tercintamu, Priti.”
Karena sudah merasa tenang, Pito masuk ke rumahnya, membuka pintu kamar dan menjatuhkan diri ke kasur yang sudah terlalu tipis gara-gara terlalu sering dipakai tidur olehnya. Ia ingin menemui Priti yang cantik jelita itu di dalam mimpinya. Pasti amat menyenangkan. [ads1]
Sementara itu, langit mendapat mandat dari Tuhan untuk menurunkan hujan. Tak lama, hujan pun turun. Lalu, Pito terbangun dari tidurnya yang baru sekejap.
“Priti! Priti! Jangan kehujanan. Bulu-bulumu yang indah mesti dijauhkan dari hujan deras!” Maka ia bergegas keluar kamar, keluar rumah, dan terkejut karena Priti sudah tidak ada lagi di ranting pohon mangganya. [ads2]
Baca juga :
– Perpisahan, Kepulangan, dan Kenangan
– Belajar dari Mimpi yang Akhirnya Terwujud
Belasakan! Pito meraih stang sepeda ontelnya. Lalu, dengan sekuat tenaga mengayuh pedal. Dia pasti di sana, batinnya. Pito mengemudikan sepedanya dengan lincah. Tikungan dilewati dengan gesit. Geronjalan jalan diterabasnya tanpa ragu. Ia mengayuh pedal dalam sikap tubuh berdiri agar bokongnya tak tersiksa sedel.
Tibalah Pito di sebuah rumah. Sepedanya ia jatuhkan sembarang di halamannya. Dengan langkah yang cepat, ia menuju pintu rumah itu. [ads1]
Digedornya sambil berteriak keras-keras, “Priti! Priti! Keluarlah, Priti!”
Karena tak ada jawaban atau tanda-tanda seseorang akan membukakan pintu.
Pito kembali menggedor pintu yang terbuat dari kayu jati itu dengan lebih semangat. “Priti! Ayolah. Keluar. Bantu aku, Priti! Ayolah, Priti!” [ads2]
Tiba-tiba pintu terbuka. Seseorang berdiri di ambang pintu itu. Perempuan. Mengenakan kebaya hijau daun. Mengenakan rok jarik bermotif parang rusak. Sedang rambutnya tergerai begitu saja, menjulur panjang hingga menyentuh pinggang.
Baca juga :
– Perihal Patah Hati dan Puisi Lainnya
– Rangkulan Sulung untuk Sulung
Pito mendadak terdiam dan geraknya berhenti sama sekali. Ia baru menyadari apa yang sedang dilakukannya. Sepasang mata kelinci milik perempuan di depan Pito mengunci kedip matanya. [ads1]
“Ada apa?” kata perempuan itu. Dialah Priti.
“Burungku,” kata Pito.
“Kenapa burungmu?”
“Kau tahu di mana burungku?”
“Ah.” Priti tertawa. [ads1]
Pito merasa salah memilih kata untuk bertanya. Ia balik badan, memukuli kepalanya dengan kepal tangan. Lepas itu, ia kembali menghadap perempuan yang tak pernah disangkanya akan betul-betul bisa ia temui empat mata.
Setelah berbalik, ia seolah menyaksikan pentas agung. Pementasnya hanya seorang perempuan saja dengan tawa yang tak memiliki padanan di belahan bumi bagian manapun. Dan penontonnya hanya Pito seorang diri. [ads2]
Dengan kalimat yang kosa katanya telah diseleksi, Pito berkata, “Aku punya seekor burung. Burung kutilang. Warnanya hitam-merah keemasan. Mohon maaf, aku menamainya Priti. Seperti namamu.”
Priti mengangguk-anggukkan kepala. Dia mengamati Pito dari atas hingga bawah. Dari ujung rambut hingga ujung kaki. [ads2]
Terlihat kumuh orang ini, batinnya. Tapi dia berkata, “Ayo masuk dulu. Aku lama tak menjamu tamu sejak setahun yang lalu. Mari. Masuklah.”
Pito menurut. Ia masuk ke rumah perempuan yang telah lama disukainya secara diam-diam. Melihat tubuh bagian belakang Priti, lelaki tukang tidur itu tak kuat. Ia geleng-gelengkan kepala, lalu berjalan sambil terus menunduk. Ia terus berjalan. [ads1]
Rasanya seperti melewati lorong yang panjang sekali. Tapi karena rumah itu sejuk, keringatnya akibat ngontel tadi tetap perlahan-lahan mengering.
Baca juga :
– Merawat Ruang Imajiner
– Absurditas dan Kesiapan Kita
Pito memohon ampun pada Tuhan karena telah buruk sangka. Pada pagi yang semula ia kira kurang bersahabat itu, perempuan idamannya yang ia temui dengan cara aneh justru tiba-tiba berkenan ngobrol dengannya dan menyajikan hidangan makan pagi yang aduhai lezatnya. [ads1]
Karena terlalu bersemangat makan, kuah sup yang ada di mangkuknya terciprat ke matanya. Ia kucek mata yang perih itu dengan lengan tangan kirinya.
Ketika akhirnya mampu membuka mata, semua yang sedang ia nikmati sudah tidak ada. Sup lezat di mangkuk. Es teh dan teh panas. Buah-buahan. Dan tentu saja perempuan bernama Priti.
Yang Pito lihat sekarang adalah langit-langit kamarnya. [ads2]
Satu-satunya keberuntungan bagi Pito pada hari ini adalah kenyataan bahwa ternyata dirinya masih hidup. (/M. Fajar Uye)