Kita semua adalah saudara dalam seiman. Kendatipun kita tak sesaudara dalam iman, kita bersaudara dalam kemanusiaan. Maqola indah, yang dituturkan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib tadi, saya rasa pas untuk mengawali tulisan ini.
Sebab, disadari atau tidak, kita kadang lupa bahwa ada yang luput dari penglihatan kita dalam melihat kehidupan sosial keagamaan dewasa ini. Yakni rasa persaudaraan yang didasari dengan cinta kasih dan sayang, tanpa memandang status sosial dan agama.
Berbicara tentang persaudaraan, menjadi penting bagi kita semua untuk merefleksikan kembali makna persaudaraan sebenarnya.
Pasalnya, akhir-akhir ini kembali muncul paham-paham intoleransi yang menggoyahkan kerukunan dan ketenteraman dalam tatanan sosial keagamaan masyarakat kita.
Ironisnya, tidak jarang mereka mengatasnamakan agama dalam membenarkan tindakannya. Tentu itu membuat kita bertanya, agama mana yang membenarkan hal tersebut?
Jika anggapan itu dilakukan oleh atau ditujukan kepada Islam, mari kita telaah lebih lanjut. Agama “Islam”, dalam satu makna bisa diartikan sebagai keselamatan, dan di arah yang lain bisa diartikan sebagai kepasrahan.
Tidak hanya itu, nilai-nilai primordial yang terkandung dalam Islam juga menyuarakan perihal spirit Ukuhwah Islamiyah. Bahkan, Al-Qur’an dan Hadis, sebagai sumber hukum utama dalam Islam, tidak kurang-kurangnya memberikan penjelasan kepada kita tentang pentingnya menjaga persaudaraan.
Mari kita lihat, surat al-Hujurat ayat 10: “sesungguhnya orang-orang beriman itu sesaudara, maka saling berbuat baiklah di antara saudaranya…” Lalu, di lain riwayat, nabi juga menegaskan bahwa “orang mukmin adalah yang mampu menjamin keselamatan orang lain dari lisan dan tangannya.”(HR. Ahmad dan Nasa’i).
Sependek ini saja, teranglah bahwa asas-asas etika, persaudaraan, dan kemanusiaan mendapatkan posisi sangat vital dalam agam islam (hlm 11).
Sejalan dengan itu, buku yang berjudul Agama Adalah Cinta, Cinta Adalah Agama ini, menampik paham Islam yang bernuansa eksklusif.
Islam, yang semestinya memberikan ruang-ruang inklusif bagi kemajemukan pendapat, sering kali dipahami sebagian kita sebagai hal yang menakutkan. Sehingga, menyiratkan kesan bahwa nilai-nilai dalam islam, jauh dari arti kerahmatan yang fundamental.
Buku yang terdiri dari beberapa bab, yang seluruhnya membahas tentang relasi antara agama dan kemanusiaan ini, menjelaskan bahwa, agama dan kemanusiaan memiliki keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan.
Bahkan, dalam ruang lain kemanusiaan harus didahulukan dari agama. Berangkat dari penjelasan di atas, kiranya cukup meyakinkan masing-masing kita agar selalu menyemai rasa cinta kasih dan sayang kepada sesama. Sehingga, kita mampu merepresentasikan makna Islam sebagai rahmat bagi alam semesta.
Selain itu, buku karya Kyai Edi AH Iyabenu ini, bisa saya katakan sebagai mata air di tengah padang pasir yang tandus. Kehadirannya sangat bermakna di tengah gersangnya pola keberislaman dewasa ini. Setidaknya begitulah yang saya rasakan setelah menyelesaikan buku ini. Dengan gaya tulisan yang ringan namun tajam, Kyai Edi dengan apik menyampaikan hal-hal prinsipil dalam Islam.
Seperti dalam bab yang membahas tentang Jangan Berbangga Hati Mentang-mentang “Muslim”, ia membicarakan makna islam sebagai “kepasrahan”. Menurut Kyai Edi, kepasrahan dengan sendirinya meniadakan segala wujud diri, seperti kebanggaan hati karena rajin ibadah.
Umpama, semalam anda bertahajud tatkala orang-orang lain tertidur pulas, kebanggaan diri tak sepatutnya muncul dalam diri kita karena amal sunnah tersebut. Sebab, amal tersebut mungkin terjadi semata berkat pertolongan dan karunia-Nya (hlm 98).
Dengan kata lain, seyogyanya semua amal ibadah yang kita lakukan hendaknya mampu menghantarkan kita pada titik kehambaan kepadaNya. Bukan malah menjadi dalih untuk membanggakan diri atas orang lain.
Maka dari itu, hendaknya kita memahami untuk selalu bermawas diri. Dan menyadari betapa memanglah diri ini begitu rawan untuk terperangkap pada suatu keburukan, meskipun di dalam mempraktikkan suatu ajaran yang lahiriahnya kemuliaan (hlm 101).
Dengan demikian, teranglah bahwa Islam sebagai agama yang sempurna tiada kekurangan di dalamnya. Jika, manakala ada tampak kekurangan, tentu itu bukanlah karena Islamnya.
Tetapi pengejawantahan kita sebagai manusia yang keluar dari ajaran dan nilai-nilai Islam. Dengan demikian, sepatutnya kita terus belajar agar mampu mengenali bahwa segala bentuk amal kebaikan yang bermuara pada perayaan kebanggaan diri, dan merasa bahwa diri lebih baik dari orang lain, adalah hal yang tidak dibenarkan dalam Islam.
Terakhir, buku ini adalah buku yang layak dibaca siapa saja, selagi masih ada keinginan terus belajar dan memperkaya ilmu pengetahuan tentang agama Islam.
Melalui buku ini, Kyai Edi mencoba menampilkan wajah Islam yang teduh, damai, penuh cinta kasih dan sayang. Sehingga, membuat kita tersadar, bahwa wajah Islam sebenarnya tidak semenyeramkan seperti apa yang disampaikan oleh sebagian pendakwah di berbagai lini masa media sosial.
Wallahu a’lam bis shawab
Penulis : M. R. Rigen
Judul : Agama adalah Cinta, Cinta adalah Agama
Penulis : Edi AH Iyubenu
Penerbit : DIVA Press
Cetakan : 2020Tebal : 200