Mesin-mesin parasit politik menggiring politik kearah demokrasi yang sakit. Yang ada hanya Demokrasi sebagai topeng (mask), Demokrasi yang penuh dengan kepura-puraan (psedudo-democracy), Demokrasi yang sarat kepalsuan (virtual-democracy).
–Yasraf Amir Pilliang–
DEMOKRASI KUNCI KEMAJUAN
Dengan terbukanya demokrasi sebagai makna kemandirian, kita memiliki kesempatan untuk menjadi bangsa yang ideal. Bangsa yang ideal adalah bangsa yang mampu merealisasikan seluruh idenya. Demokrasi pun bukanlah hasil akhir dari perjalanan panjang namun demokrasi hanyalah salah satu pintu masuk untuk merealisasikan cita-cita kemerdekaan.
Demokrasi adalah kunci penting untuk kemajuan. Seluruh sistem yang dimuat oleh negara tidaklah boleh melanggar prinsip-prinsip demokrasi. Prinsip demokrasi adalah memberikan seluas-luasnya kekuasaan kepada rakyat. Tidak boleh ada dalam negara demokrasi hanya segelintir orang ataupun sebagian kelompok yang memegang kekuasaan (transparansi sistem).
Baca juga :
– Daripada Haramkan Netflix, Mending Haramkan Saja Ujaran Kebencian
– Rangkulan Sulung untuk Sulung
Dalam sejarah panjang berjalannya Indonesia sebagai negara, terjadi degradasi kenikmatan dalam berdemokrasi. Diawali dengan dikultuskannya soekarno sebagai presiden seumur hidup, gurita rezim orde baru hingga desas-desus oligarki politik di masa reformasi mewarnai arus demokrasi yang keruh.
Baca juga :
– Cintaku Berdaulat Fobia– Perihal Patah Hati dan Puisi Lainnya
PARASIT DEMOKRASI
Keruhnya demokrasi disebabkan oleh parasit (belenggu) politik baik kalangan elite maupun akar rumput masyarakat (pungli/manipulasi). Kekeruhan dalam berdemokrasi menjadi peristiwa sejarah bangsa yang panjang sehingga demokrasi menjadi barang mati. keberadaan demokrasi tidak mampu mengangkat derajat dan martabat bangsa keatas permukan peradaban. Demokrasipun menjadi mati dan terkubur disebabkan oleh parasit-parasit yang dengan sengaja membunuh bangsnya sendiri.
Parasit demokrasi ibaratkan ulat belatung didalam buah mangga yang menggrogoti buah tersebut dari dalam. Dalam sebuah negara demokrasi terdapat rekayasa keadilan dan kekuasaan, rekayasa ekonomi, yang tujuannya hanya untuk kepentingan segelintir orang saja. Padahal dalam negara demokrasi kejadian tersebut tidak bisa diaminkan. Meskipun kebijkan hukum, kebijakan ekonomi memuat conter productive terhadap perkembngan bangsa, hal tersebut tetap dipaksakan hanya untuk kepentingan pribadi.
Kebiasaan menghancurkan bangsa dari dalam merupakan kejadian yang cukup mensejarah dalam perkembangan bangsa Indonesia. rezim orde baru memberikan contoh yang cukup sempurna dalam menghancurkan bangsa dari dalam. Otoriterianisme sama sekali tidak dibenarkan dalam maklumat negara demokrasi. Jejak kejahatan orde baru dalam mengkubur demokrasi dapat terasa hingga hari ini. bagian yang sangat terasa adalah mentalitas perlawanan bangsa dalam mengahadapi ketidak adilan dan kejahatan kemanusiaan.
Kejahatan sistemik berubah menjadi hyper kejahatan, kejahatan yang melampaui batas adalah konsekuensi dibekukannya ruang kebeasan berekspresi. Senada dengan catatan Michel Serres dalam buku Parasite (1980) jaringan kejahatan menjadi hyper karena parasit-parasit itu sangat lihai bersembunyi dibalik jaringan-jaringan tempat ia hidup, dibalik peran-peran sosial mereka masing-masing (menteri, polisi, hakim, pengusaha). Inilah parasit-parasit politik yang digambarkan. Semuanya bersembunyi dibalik jabatan dan nama besarnya masing-masing. Disamping itu, para parasit demokrasi menggrogoti kekayaan bangsanya untuk kepentingan perut sendiri.
Baca juga :
– Amerika; Negara Super Power yang Kesepian
– Merdeka 100% dari Pandemi dan Tirani
THE PARASIT STATE
Bila meminjam bahasanya Yasraf Amir Piliang dalam buku Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial (2003), lembaga-lembaga negara maupun civil society masyarakat hanya menjadi topeng-topeng tempat bersemedinya pelaku kejahatan yang disembunyikan (Camouflage). Kajadian seperti ini bukanlah barang baru bagi bangsa Indonesia. Pohon pembangunan menjadi mandeg tak berkembang, bangsa Indonesia gagap dalam menyambut perubahan dan kemajuan hanya karena perkembangan demokrasi yang sengaja dikubur.
Istilah yang cocok dalam menggambarkan sebuah negara yang dihuni oleh berbagai macam parasit adalah The Parasit State.
Setiap orang bernari-nari diatas kepayahan orang lain
Ekstasi gaya hidup menjungkirkan manusia kedalam jurang individualitas. Metinya kepekaan terhadap kehidupan sosial boleh jadi adalah akibat dari perkembangan parasit-parasit yang mengakar. Tak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut nyata dihadaan publik hari ini.
Didalam buku Conversation on Science, Culture and Time (1995), Sarres mengatakan bahwa dunia ini pada hakekatnya dihuni oleh dua kelompok manusia, yaitu mereka yang menang (the winners) dan mereka yang kalah (the losser). Mereka yang kalah adalah orang-orang yang terombang-ambing ditelantarkan oleh kerasnya persaingan.
Kehidupan menggelandang adalah pilihan yang cukup rasional bagi mereka yang tak mampu menaklukkan keadaan. Pilihan mereka lainnya adalah hidup bersama para dermawan, mecari majikan hanya untuk sekedar bertahan hidup. Kederitaan yang mereka rasakan adalah akibat dari begitu rapinya serangan para parasit-parsit dalam membelenggu hak kemakmuran mereka.
Baca juga :
Menyoal Identitas dan Kesopanan Teman-teman Papua
Sedangkan mereka para pemenang adalah seluruh kalangan elite yang mampu menaklukkan elemen lainnya. Para pemenang yang dimaksud oleh Sarres adalah para konglomrat yang rakus berikut dengan para koncois yang rakus. Mereka mengahalalkan segalanya termasuk menjadi parasit-parasit yang mampu mengintervensi penguasa. Mengintervensi penguasa menjadi agenda wajib para konglomrat untuk memastikan keberlangsungan kenikmatan pribadnya dengan cara apapun. Kebijakan dan hukum yang dibeli oleh para konglomrat sama sekali tidak meliahat akibat yang akan muncul digaris bawah masyarakat.
Efek yang jelas dari kematian demokrasi adalah jurang pemisah masyarakat, ibaratkan langit dengan bumi. Dunia hanya diperuntukkan bagi mereka yang mampu menjadi pelopor perang membela kejahatan dan penindasan. Tentunya kondisi sosial yang seperti ini tidak akan pernah terjadi kecuali dalam neraka. Para iblis berdansa ria dalam neraka dan korbannya adalah kaum lemah-miskin yang tak sanggup melawan keadaan.
Baca juga :
– Wahhabi, Wahhabisme, dan Rahasia di Baliknya– Upaya Merawat Ingatan dan Mengolah Renungan
PARADIGMA DEMOKRASI
Upaya untuk mengembalikan demokrasi seluas-luasnya kepada rakyat adalah kewajiban. Dan hal tersebut tidak bisa dilakukan hanya dalam hitungan hari ataupun bulan. Pembangunan demokrasi dalam rangka menggali kembali kuburan demokrasi adalah tugas dari semua kalangan. Seluruh leading sector dipersiapkan untuk menyambut pembangunan demokrasi.
Hal pertama yang patut untuk diperhatikan adalah pembangunan paradigma demokasi seluas-luasnya. Paradigma demokrasi adalah pendangan intersubjectivity, atau bila meminjam bahasanya Jurgen Hebermas adalah Communicative Action. Dalam teori tersebut Hebermas memberikan pandangan bahwa manusia yang satu dengan mansuaia yang lainnya adalah sebagai subjek yang patut untuk didengarkan dan dipertimbangkan.
“Manusia yang satu dengan mansuaia yang lainnya adalah sebagai subjek yang patut untuk didengarkan dan dipertimbangkan”
Paradigma demokrasi seluas-luasnya dapat menggali keburan demokrasi yang sudah tertutup oleh parasit dan topeng-topeng kejahatan. Mesin-mesin kepalsuan demokrasi dapat dihentikan dengan menciptakan mesin gaya baru yang akan menjadi counter hegemony terhadap mesin-esin kepalsuan. Mesin gaya baru tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah pembangunan paradigma demokrasi seluas-luasnya. (/Rizki Maulana Hakim)