Penulis: Abdullah Ariansyah
Semakin hari, alam akan semakin rusak dengan sikap arogannya manusia. Sikap arogan ini bisa lahir dari banyak faktor. Misalnya gaya hidup, nafsu berlebihan dan perasasan superior. Siapa yang bisa mencegah rusaknya lingkungan, jika manusia hari ini lebih peduli gaya hidupnya daripada lingkungan. Lebih takut kehilangan sinyal daripada kehilangan hutan. Atau lebih rela kehilangan lahan pertanian demi sebuah proyek properti.
Dengan dalih ekonomi yang dipakai, maka lingkungan yang selalu menjadi korban. Padahal, ekonomi adalah ilmu tentang bagaimana manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Bukan malah memenuhi hasrat yang tidak akan pernah tuntas. Maka dari itu, saya terinspirasi dan tergerak untuk menulis sebuah pandangan tentang ekonomi versus lingkungan.
Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan sumber daya alam, seperti tanah, air, udara, energi surya, mineral serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam laut. Adapun yang dimaksud dengan lingkungan sekitar menurut UU NO 32 tahun 2009, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang, semua benda, daya, keadaan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang memengaruhi alam itu sendiri.
Ekonomi adalah ilmu sosial yang mempelajari aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi. Adapun hakikat ekonomi yaitu mempelajari perilaku individu dan masyarakat, contohnya dalam menentukan pilihan penggunaan sumber daya yang langka (dengan /tampa uang), sebagai upaya meningkatkan kualitas kehidupan. Oleh karena itu, mempelajari bagaimana manusia secara individu maupun kolektif melakukan pilihan alokasi sumber daya, ekonomi lantas juga bisa disebut ‘ilmu memilih’.
Indonesia dikenal dengan negara agraris, sebab sebagian besar masyarakat—dahulunya—bercocok tanam (bertani), dan pernah menjadi pusat perhatian dunia. Hal ini bukanlah tanpa sebab, dan dipicu oleh kesuburan tanah dan sumber daya alam Indonesia yang terhitung banyaknya. Sehingga, banyak yang ingin sekali menguasai Indonesia pada saat itu karena kekayaan alamnya.
Di era modern seperti sekarang, banyak sekali masyarakat yang dulunya bertani, lebih memilih pindah pekerjaan menjadi seorang pegawai industri. Bahkan, dewasa ini bekerja di perkantoran dirasa lebih menggiurkan. Bisa dibilang, pilihan untuk menjual lahan pertanian kepada investor-investor yang akan membuat perusahaan industri, bisa mendatangkan keuntungan secara lebih cepat.
Jika kita tarik lebih lanjut, perasaan dan perhitungan yang sebenarnya jangka pendek ini, salah satunya disebabkan oleh kurangnya perhatian pemerintah terhadap petani. Sehingga, harga daya jual petani menjadi kacau atau tidak stabil. Kemudian, banyak masyarakat berubah haluan bekerja di proyek industri, yang katanya menjanjikan, tetapi malah banyak oknum perusahaan yang merusak lingkungan.
Dengan dalih ekonomi tadi, di sini peran pemerintah selaku pemangku kebijakan, sering kali membangun atau mengizinkan para investor- investor membuat perusahaan dengan mudah. Lebih parahnya lagi, banyak kita temukan mega proyek yang berhasil dikerjakan tanpa melewati prosedur atau mekanisme yang tidak memikirkan dampak ingkungan. Contohnya saja perusahaan tambang batu bara, tambak minyak, dan perusahaan kelapa sawit. Dari aktivitas tambang batu bara saja, sering kali terjadi konflik, malah ada yang sampai meregang nyawa.
Mungkin, sebagian dari kita pernah menonton film dokumenter Sexy Killers. Film tersebut sempat viral dalam kurun waktu sebelum pemilihan calon presiden 2019. Melalui film ini, kita bisa melihat betapa kejamnya para investor dan aktivitas tambang yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan, terlebih kepada masyarakat yang terdampak di sekitar tambang. Melalui film ini kita juga melihat akar masalahnya, yaitu karena banyak sekali perusahaan yang mendapat perizinan begitu mudah.
Padahal, ada Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang tidak diperhatikan perusahan serta investor tadi, sesuai dengan prosedur AMDAL itu sendiri. Sehingga, dengan mudah para investor mendapatkan perizinan untuk membuat perusahaan, atau membuka lahan untuk tambang. Belum lagi, ditambah ada rencana dari pihak pemerintah yang akan menghapuskan AMDAL di Indonesia di rancangan UU Omnibus Law, dengan dalih agar mempercepat atau mempermudah tumbuhnya industri-industri kecil.
Jika kita cermati, wacana Omnibus Law untuk mempermudah membuka usaha, justru kebijakan yang nantinya menjadi bencana tersendiri di bumi pertiwi. Di mana perusahaan-perusahaan besar atau investor asing, akan lebih leluasa mendapatkan ijin membuka perusahaan dengan tidak adanya pendisiplinan dari aspek lingkungan.
Adapun, pemerintah malah menyatakan penghapusan AMDAL digantikan dengan sistem pengawasan. Sebuah statement yang lucu dan tidak logis. Pertanyaannya, pengawasan yang seperti apa, atau sistem yang mana yang bisa dijadikann pegangan bagi rakyat biasa? Pertanyaannya lagi, apakah pemerintah lebih bertujuan mencari kemudahan agar bisa banyak uangnya? Dipermudah perijinanya meskipun harus mengorbankan rakyat sera lingkungan. Oleh sebab itu, saya pribadi merasa pemerintah sekarang lebih sulit untuk dipercaya.
Sampai di sini, mungkin kita akan sadar, betapa seringnya pemerintah mengesampingkan lingkungan dan lebih mengedepankan ekonomi bagi sebagian kecil orang. Seharusnya, pemerintah lebih bisa memberikan kepercayaan diri kepada masyarakat untuk bertani dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Lebih lanjutnya, seharunya kita mampu bersaing menguasai perdagangan pangan dunia. Indonesia setidaknya harus percaya diri, dan mengakui bahwa negara kita ini negara agraris, bukan malah dipaksakan menjadi negara industri yang merusak lingkungan.
Industri yang tumbuh begitu pesat di era modern, sudah seharusnya bisa memikirkan lingkungan sekitar. Atau istilah lainnya disebut dengan pembangunan Green Industry, tanpa merusak lingkungan yang bisa menciptakan masyarakat sejahtera dan hidup berdampingan dengan lingkungan yang sehat.
Terakhir dari saya, Indonesia jangan sampai terlalu banyak membangun, dan menjadi lupa menanam untuk hari esok. Mengingat, banyak sekali hutan dan lahan pertanian menjadi perusahaan industri dan gedung – gedung. Lalu, bagaimana sebutan bahwa Indonesia tanah surga?