Berubahnya Hukum Lama Akibat Adanya Keadaan Baru

Mainmain – `Illat al-hukmi atau yang biasa disebut dengan konteks hukum, merupakan suatu sifat, kondisi, keadaan, atau unsur tertentu (yang bisa bersifat personal, loal, atau komunal, bisa terbatas waktu dan tempat pula), yang menjadi dasar bagi ditetapkannya suatu hukum.

Yang dimaksud dengan “dasar bagi ditetapkannya suatu hukum” di atas, merupakan suatu sifat atau keadaan atau kondisi kehidupan yang membutuhkan suatu fatwa hukum (fiqh). Yang mungkin saja belum ada hukumnya atau telah ada, tetapi sifat atau kondisi terkininya telah mengalami perubahan baru.

Karena konteks hidup manusia terus bergerak, bergeser, dinamis, dan memungkinkan tidak lagi sama dengan situasi sebelumnya yang telah dihukumi suatu fiqh, boleh jadi fiqh lama dianggap tidak lagi memadai atau bahkan luput dari persoalannya.

Fiqh Lahir dari Suatu Konteks Hukum Tertentu

Hal tersebut sekaligus mengukuhkan suatu pengertian umum dalam tradisi dan ilmu Ushul Fiqh, bahwa suatu fiqh lahir dari suatu konteks hukum tertentu, dan akan berubah bila konteks hukumnya juga berubah.

Semisal, pada keadaan pandemic seperti saat ini, fiqh lama mengatakan bahwa fardhu `ain shalat Jum`at berjamaah di masjid. Dengan adanya deraan pagebluk Corona yang mengguncang dunia, maka, dalam kondisi ini membutuhkan suatu fatwa hukum baru terhadap fiqh lama tersebut.

Akibatnya, ada sebuah perubahan kondisi yang membuat bergesernya hukum fiqh lama kepada hukum baru. Yang pada awalnya fardhu `ain shalat Jum`at berjamaah di masjid, kini menjadi cukup dengan diganti shalat dzuhur di rumah masing-masing. Hal ini tentunya berkaitan atas dan demi kemaslahatan bersama, agar dapat mengantisipasi dan meminimalisir resiko terpaparnya para jamaah dari virus Corona.

Dengan terjadinya perubahan kondisi seperti ini, maka perlu dilakukan pengkajian Ushul Fiqh terhadap `illat al-hukmi pada keadaan tersebut. Yang dalam pengkajiannya tetap berdasarkan pada sejumlah ayat dan hadist yang terkait. Sehingga, dapat dihasilkan suatu keputusan atau dikeluarkannya suatu fatwa baru dengan adanya kondisi baru, yaitu shalat Juma`at boleh diganti dengan shalat dzuhur di rumah masing-masing.

Dan jika keadaan baru tersebut sudah berubah kembali—pada hukum lama—maka akan berlaku kembali hukum lama mengenai kewajiban shalat Jum`at berjamaah di masjid.

Dengan adanya hukum yang sifatnya mahdhah begitu saja, memungkinkan terjadinya pergeseran atau perubahan fiqhnya terbuka berdasarkan `illat al-hukmi tertentu. Apalagi kepada hal-hal yang ranahnya ghairu mahdhah, tentu saja jauh lebih terbuka.

Kita mengetahui bahwa kondisi-kondisi khusus yang melingkupi kehidupan riil umat Islam bisa sangat beragam. Sehingga `illat al-hukmiNya pun ikut menjadi beragam. Sangat wajar jika antar kondisi khusus itu kemudian melahirkan bentuk fiqh yang beragam pula.

Hukum Baru Pada Persoalan yang Sama

Ada kalanya terjadinya hukum baru pada persoalan yang sama, ditentukan karena adanya perbedaan aspek lokalitas, kultur, sosial, tradisi hingga tatanan politik. Dengan adanya perbedaan aspek lokalitas, kultur, sosial, tradisi hingga tatanan politik tersebut, dapat menimbulkan hukum yang baru pada tiap-tiap kondisi.

Misalnya fashion Islami perempuan Arab Saudi bergaya paduan abaya dan jilbab panjang lebar. Tentunya akan berbeda dengan gaya fashion Muslimah Jakarta yang mengenakan celana jeans, hem atau kaos, dengan jilbab yang tidak amat panjang. Begitu pula gaya berjilbab ibu-ibu di pesisir Madura yang mengenakan rok, daster, jarik, dengan paduan jilbab sederhana.

Kita tidak bisa mempertentangkan suatu pendapat hukum, fiqh dengan pendapat hukum lainnya dan fiqh lainnya, kecuali semata-mata untuk kepentingan kajian keilmuan. Sangat tidak etis jika kita mengagung-agungkan paham fiqh diri sendiri yang paling benar, sembari menyesatkan paham fiqh lain. Satu hasil ijtihad hukum tidak boleh dipropagandakan untuk menjungkalkan hasil ijtihad hukum lainnya. Karena perbuatan tersebut sungguh su`ul adab kepada para ulama yang telah melahirkan ijtihad-ijtihad hukum tersebut.

Lalu jika muncul pertanyaan sejenis ini: “maka fiqh yang mana yang benar sesungguhnya?”, maka jawabanya sederhana yaitu: “wallahu a`lam bish shawab, sesungguhnya Allah Swt lah yang paling tahu yang mana yang benar, yang paling sesuai dengan maksud dan kehendaknyaNya. Maka dari itu, mari dengan sepenuh kesadaran rohani, kerendahan hati, dan kecerdasan intelektual, mulai sekarang jauhkan diri kita dari sergahan-sergahan sejenis ini kepada anutan fiqh dan amaliya liyan.

Karya : Imas Masitoh
Mahasiswa Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisni Islam UIN Sunan Ampel Surabaya.
Tinggal di Bates Labuhan Sreseh.
Bisa dihubungi dan ditemui di
Instagram: masitoh503, Facebook: masitoh, dan e-mail: imasmadu9@gmail.com

Tinggalkan komentar