Mainmain – “Keabsurdan adalah sisi imajinatif lain yang bisa jadi lahir dari persilangan dengan ketakutan.”
Sungguh tak masuk akal sekali ceritanya, atau sungguh tak masuk akal sekali apa yang ia sampaikan. Ungkapan semacam ini, jamak saya temui dalam obrolan sehari-hari. Baik itu ketika berbincang santai, di beberapa forum diskusi, sampai dengan acara seperti seminar, atau webinar yang lagi ngetren akhir-akhir ini. Selayaknya manusia yang lain, saya juga pernah mengalami kondisi seperti ini, kondisi di mana ketidaksiapan adalah hal yang membuat saya merasa aneh. Lebih buruknya lagi, kondisi seperti itu disebabkan oleh kedunguan saya pribadi.
Segala apa yang manusia takuti dan khawatirkan, tidak lebih karena hal itu belum diketahuinya sama sekali. Memang, menjadi tidak tahu itu terkadang menyenangkan, tetapi ketidaktahuan sendiri adalah pisau bermata dua. Sama halnya dengan sebuah perkenalan yang berujung pada perpisahan, sebuah kesiapan adalah cara untuk mengukur sejauh mana seseorang kuat menghadapi kenyataan. Tidak saja kenyataan yang tidak bisa dikontrol sama sekali, melainkan juga kenyataan yang seseorang rasa ia pegang penuh kendalinya.
Belum lama ini, absurd adalah kata yang tepat mewakili kondisi saya. Dengan merendahnya semangat hidup, saya merasa bahwa saya sedang berada di fase untuk bercermin. Fase yang menuntut saya agar berdialog dengan diri saya sendiri. Baik itu dengan otak saya yang memegang kendali sebanyak 70% dan berfungsi seperti gas kendaraan, atau pun dengan hati saya yang hanya punya kapasitas 30% dan berguna semacam rem di sebuah kendaraan. Berawal dari situ, saya lantas mencoba akrab dengan yang namanya absurditas dalam hidup.
Awalnya, saya tidak menyangka semangat saya bisa kembali bangkit setelah memberi semangat kepada orang lain. Walaupun pada keesokan harinya saya merasa energi saya terkuras habis, justru saya merasa bersyukur bisa sedikit memperbaiki kesalahan pada 39 bulan yang lalu. Kesalahan yang menurut saya sedikit fatal dan memuakkan ini, setidaknya bisa saya benahi sedikit demi sedikit kepada orang yang pernah saya sakiti tersebut. Saya juga merasa beruntung, setelah mengetahui orang yang saya sakiti adalah orang yang lapang hatinya dan kuat jiwanya.
Hebatnya, orang yang saya sakiti ini masih mau meminjamkan buku miliknya. Dan buku yang ia pinjamkan, secara tidak langsung memompa kembali semangat saya yang belakangan ini sempat meredup. Buku yang saya maksud adalah buku Iksaka Banu, yang berjudul Ratu Sekop dan Cerita-cerita Lainnya. Buku ini, adalah buku yang membuat saya tidak tahan untuk tidak membacanya, tentunya setelah saya membuka lembaran pertama.
Tiga belas cerita pendek yang ada di dalam buku ini, saya rasa sangat mewakili apa yang sedang saya rasakan. Mulai dari perasaan bersalah, cemburu, iri, marah, kesal, kasihan, kecewa, dan hal-hal yang sekiranya itu saya anggap sebagai sebuah tempaan. Dan saya seperti tersadar setelah membaca buku ini, bahwa hidup itu memang sudah selayaknya kita jalani dengan sebaik mungkin. Tentunya baik dalam artian versi ideal kita masing-masing, dan bisa lepas dari stigma atau stereotip tertentu yang sering kali hanya memabukkan.
Dari ketigabelas cerita yang ada di buku ini, saya sulit memberi penilaian mana yang paling bagus versi saya, atau yang menurut saya paling kuat ceritanya. Sebab, setiap cerpen yang ada di buku ini punya segmentasi dan titik tekan yang berbeda. Meskipun isi pembahasan ceritanya ada kemiripan, tetapi tetap saja ada perbedaan yang mencolok dari setiap cerpennya.
Misalnya saja, cerpen yang berjudul Lelaki dari Negeri Halilintar dengan cerpen yang berjudul Undangan Seratus Tahun, kedua cerpen ini sama-sama membahas kematian di dalamnya. Bedanya adalah, cerpen pertama lebih mengarah pada soal cara menghadapi kematian seelegan mungkin, sedangkan cerpen kedua, dicampuri dengan unsur sci-fi dan teknologi di dalamnya. Keduanya juga sama-sama membahas soal kesiapan untuk menghadapi kematian, akan tetapi, sudut pandang yang dipakai keduanya sangat-sangat berkebalikan.
Oleh sebab itu pula, saya merasa Iksaka berhasil menyalurkan pekerjaan yang digelutinya dalam dunia periklanan, menjadi bentuk yang sama sekali baru. Dari dua cerpen yang sudah saya singgung di atas, tampak lihainya seorang Iksaka Banu ketika menampilkan serta menyuguhkan sajian cerita menusuk kepada sasaran yang dituju olehnya. Selanjutnya, saya juga mengakui kelihaian Iksaka dalam mewakili dirinya pribadi serta identitasnya, seperti yang tergambar di cerpen berjudul Listrik.
Senada dengan yang sudah saya sebutkan di awal tulisan ini, membaca buku ini ibarat menyusuri lorong gelap dan penuh teka-teki. Lorong gelap di sini tiada lain adalah ingatan kita sendiri. Ingatan yang bisa jadi kita ingin pendam, buang, dan hilangkan sama sekali. Namun, saya tidak lantas menyebut buku ini sebagai alat atau obat yang mampu mengatasi itu semua, bukan. Yang saya maksud adalah, buku ini seperti mengajarkan, apabila keberanian selalu diukur dengan hal di luar diri kita, bukankah itu sebuah kesia-siaan belaka?
Sebab, bagi saya berani itu adalah ketika kita mampu bersaing dengan diri sendiri, bukan dengan orang lain. Bukannya tujuan kita mengenal orang lain itu pada akhirnya agar bisa mengenal diri sendiri? Maka dari itu, saya mengartikan bersaing dengan diri sendiri itu tidak lain adalah upaya agar kita bisa melampaui diri kita yang sekarang. Menjadi baik adalah ikhtiar keluar dari kegersangan dan kesempitan bahwa kita harus lebih baik dari orang lain. Pada akhirnya, ketika terlalu berpatokan pada orang lain, kita sendiri yang akan kehilangan keaslian diri.
Entah mengapa, dari semua cerpen yang ada di buku ini, favorit saya adalah cerpen yang berjudul Undangan Seratus Tahun. Meskipun cerpen ini memiliki tendensi bahwa sejarah—kekacauan, kekerasan, kehancuran, ketamakan, serta kebinasaan—pasti berulang, saya merasa kalau cerpen ini adalah cerpen yang sangat tepat mengajarkan cara untuk menghargai masa lalu dengan sebaik mungkin. Karena saya sering spoiler ketika meresensi, maka saya persilahkan kepada seluurh calon pembaca untuk segera membeli buku ini dan merasakan segala ketidakpastian di dalamnya.
IDENTITAS BUKU
Judul : Ratu Sekop dan Cerita-cerita Lainnya
Penulis : Iksaka Banu
Penerbit : Marjin Kiri
Cetakan : September, 2017
Tebal: xii+189