Pemerkosaan merupakan kasus yang sampai saat ini masih marak terjadi. Berdasarkan catatan komnas perempuan pada tahun 2019 terdapat 431.471 kasus kekeraan terhadap perempuan. Kasus kekerasan seksual di Indonesia setiap tahun selalu mengalami peningkatan, meski begitu belum banyak upaya yang bisa dilakukan untuk menangani persoalan tersebut. Hal ini terjadi karena kasus kekerasan seksual khsusnya terhadap perempuan “didukung” oleh budaya masyarakat. Masyarakat menganggap bahwa kekerasan seksual merupakan hal yang tabu dan tidak pantas dibicarakan di muka umum, apalagi mejadi diskursus.
Baca Juga :
– Terima Kasih Gelap, Aku telah Menemukan Terang
– Mengintip Bilik Pesantren yang Cabul
Hal ini kemudian menyebabkan korban kekerasan seksual tidak berani untuk bicara atau melaporkan kasus yang dialami. Selain itu, alasan perempuan korban pelecehan seksual tidak berani untuk melaporkan kasus yang dialami adalah karena Pelaporan pelecehan seksual masih sering mendapat respon yang kurang menyenangkan. Mulai dari streotip negatif masyarakat, dan justifikasi negatif atau yang lebih parahnya ketika korban mengadu, aduan mereka dianggap remeh dan malah di gunakan sebagai bercandaan. Disisi lain budaya masyarakat kita masih memandang bahwa hal terpenting dari seorang wanita adalah keperawanannya. Stigma sosial yang sering harus dihadapi korban pelecehan seksual adalah bahwa dia sudah “kotor”, sehingga dia tidak memiliki masa depan lagi.
Baca Juga :
– Cintaku Berdaulat Fobia
– Perihal Patah Hati dan Puisi Lainnya
Survei yang dilakukan Lentera Sintas Indonesia dan Change.org menemukan bahwa 6,5% dari total 25.213 responden mereka mengaku pernah diperkosa. Akan tetapi, 93% dari mereka tidak melaporkan tindakan kriminal ini ke polisi. Alasan terbesar dari mengapa para korban menutupi kejadian ini adalah karena mereka takut akan stigma sosial yang akan mereka dapatkan dari masyarakat. Lebih parahnya lagi, bukan hanya korban yang mendapatkan stereotype negatif dari masyarakat, orang yang medukung korban kekerasan seksual juga mengalami hal yang sama. Seperti yang dialami oleh dua selebritas yaiatu Via Vallen dan Gita Savitri yang menjadi buah bibir warganet ketika megupload sebuah kasus pelecehan seksual. hal inilah yang kemudian disebut sebagai rape culture.
Baca Juga :
– Manunggaling Kawulo Bumi Ciptaan Gusti
– Upaya Merawat Ingatan dan Mengolah Renungan
Rape Culture adalah sebuah sistem kepercayaan yang tertanam dalam suatu masyarakat, yang membenarkan agresi dan kekerasan terhadap perempuan, maupun anak. Dari teori tersebut dapat dimaknai bahwa penyebab seseorang melakukan pemerkosaan bukan hanya motivasi diri dari si pelaku semata, tetapi hal tersebut terjadi dikarenakan adanya sokongan dari masyarakat, dengan cara memberikan sokongan terhadap perbuatan tersebut.
Baca Juga :
– Lewis Capaldi dan Lambang Harapan
– Cowok Suka Masak Dipuji, Cewek Suka Masak Kok Disepelekan?
Terdapat setidaknya dua ciri masyarakat yang memiliki Rape Culture yaitu pertama, saat masyarakat membenarkan tindakan-tindakan kejahatan seksual, dengan cara menunjuk korban sebagai pihak utama untuk disalahkan (misalnya seperti meyakini bahwa pemerkosaan terjadi karena persetujuan korban, atau pelecehan seksual terjadi karena korban ‘mengingkannya’); dan kedua, saat tindakan-tindakan heteroseksualitas yang tidak pantas dianggap sebagai sesuatu yang normal.
Baca Juga :
– Romantisme dalam “Aku Ingin”
– Seperti Kasam, Nestapa Harus Dibayar Tandas
Budaya pemerkosaan atau Rape Culture mengacu pada kompleks kepercayaan yang mendorong agresi seksual laki-laki dan mendukung kekerasan terhadap perempuan. Ini adalah masyarakat di mana kekerasan dipandang sebagai seksi dan seksualitas sebagai kekerasan. Dalam Rape culturr, perempuan melihat kontinum dari ancaman kekerasan yang berkisar dari komentar seksual hingga sentuhan seksual hingga pemerkosaan itu sendiri. Budaya pemerkosaan membenarkan terorisme fisik dan emosional terhadap perempuan sebagai norma.
Baca Juga :
– Pemulihan Wisata Pasca Pandemi Covid-19
– Perihal Patah Hati dan Puisi Lainnya
Rape Culture yang berkembang di masyarakat inilah yang menyebabkan maraknya kasus pelecehan seksual. Pelecehan seksual tidak hanya banyak terjadi di Indonesia,melainkan hampir diseluruh negara didunia terdapat pelecehan seksual. Di Amerika Serikat, Jaringan Nasional Pemerkosaan, Penyalahgunaan, dan Inses melaporkan bahwa pemerkosaan terjadi setiap 107 detik; 68% dari serangan tersebut tidak dilaporkan, dan dua pertiga di antaranya dilakukan oleh seseorang yang dikenal korban, di Inggris Raya, lebih dari 85.000 wanita diperkosa dan 400.000 diserang setiap tahun. Negara lain yang juga banyak mengalami insiden pemerkosaan antara lain, Lesotho, Swedia, Afrika Selatan, St. Vincent dan Grenadines, Selandia Baru, dan Belgia (Iaccino, 2014). artinya, pemerkosaan dan budaya yang menormalkannya adalah masalah duniawi.
Baca Juga :
– Romantisme dalam “Aku Ingin”
– Seperti Kasam, Nestapa Harus Dibayar Tandas
Sadar atau tidak sadar rape culture masih terus di pertahakan bahkan direproduksi. Media memiliki peran yang sangat kuat dalam membentuk rape culture dan bahasa misoginis. Media banyak memperkuat gagasan hegemoni maskulinitas, menggambarkan laki-laki sebagai agresif, dan pemerkosaan sebagai kejadian biasa. Misalnya, drama remaja, Reign, menciptakan kontroversi pada akhir 2014 ketika menampilkan adegan pemerkosaan yang kejam. Di luar drama fiksi, media mengabadikan budaya pemerkosaan dengan menyebut “pemerkosaan” sebagai “seks”, atau bersimpati dengan pemerkosa daripada korban, sebagaimana dibuktikan oleh liputan reporter CNN tentang kasus pemerkosaan Steubenville.
Penulis : Robet