Menyoal Identitas dan Kesopanan Teman-teman Papua

Ditundanya sidang teman-teman Papua yang dianggap makar, menambah list PR baru kita sebagai satu kesatuaan berbangsa dan bernegara. Pasalnya, sidang tersebut ditunda karena ketidaksukaan ketua majelis hakim melihat mereka menggunakan Koteka.

Identitas mereka, nampaknya belum bisa diterima secara penuh oleh kita yang mendaku diri sebagai orang-orang modern. Koteka, yang masuk dalam kategori pakaian adat, merupakan simbol identitas dari teman-teman Papua, dan secara tidak langsung masuk dalam aset kekayan kita bersama.

Tindakan teman-teman Papua yang ingin memakai Koteka sewaktu sidang, seharusnya tidak bisa dihakimi sebagai sebuah bentuk ketidaksopanan. Anggapan soal ketidaksopanan dalam pengadilan, sedari awal sebenarnya sudah cacat logika.

Etika berpakaian, seharusnya tidak lagi berlaku di ruang publik semacam gedung pengadilan. Jika sebatas karena ketidaksukaan ketua majelis hakim, kenapa tidak ketua hakimnya saja yang diganti? Selain menyita banyak waktu dan tenaga, dengan ditundanya sidang tersebut, menjadi bukti tidak adanya profesionalitas di ranah hukum kita hari ini.

Sedari dulu di belahan dunia manapun, sebuah pengadilan tentang suatu kasus tidak pernah didasari oleh etika kesopanan. Bagaimanapun kasusnya, jika sudah masuk dalam ranah pengadilan, harus diperlakukan dengan sebijak mungkin.

Penahanan teman-teman Papua yang didakwa dengan pasal berlapis, seharusnya menjadi prioritas utama dari para hakim yang akan menyidang mereka. Pernyataan humas PN Jakpus Makmur, meski sudah berbentuk sebagai klarifikasi atas tidak adanya bentuk diskriminasi, tetap saja masih akan lemah dalam pengamatan kita.

Cara berpakaian yang dianggap melanggar norma kesopanan tersebut, seakan menjadi keputusan sepihak dari sang hakim. Memang benar tidak adanya sebuah kewajiban untuk memakai Koteka dalam sebuah pengadilan, bahkan di Papua sendiri. Namun, hal tersebut adalah pilihan yang seharusnya kita hormati, bukan malah dipermasalahkan.

Jika hakim mempunyai wewenang untuk menunda persidangan, lantas apa yang menjadi wewenang terdakwa dalam konteks ini? Jika hakim punya wewenang dan menggunakannya karena ketidaksukaan terhadap pakaian, teman-teman Papua seharusnya juga diberi wewenang untuk tetap berpakaian sebagaimana yang mereka inginkan.

Kalau sudah begitu, barulah bisa disebut dengan sebuah bentuk keadilan. Bukankah yang kita anggap dengan kesopanan dalam hal ini sangat relatif, fluktuatif dan tentatif? Lantas kenapa mempermasalahkan hal yang semacam itu?

Pilihan terhadap sebuah pakaian, yang sampai hari ini masih dipermasalahkan, menggambarkan kemunduran kehidupan berdemokrasi kita. Dalam kehidupan berdemokrasi, bentuk ekspresi seseorang maupun kelompok, menjadi hal yang seharusnya dipertimbangkan. Hal tersebut, harus dilihat dalam konteks berdemokrasi yang lebih luas, termasuk dalam hal kesopanan.

Mengutip Michel Foucault, konstruksi soal kekuasaan dan pengetahuan, seringkali digunakan untuk membentuk kontrol sosial melalui lembaga kemasyarakatan. Pengadilan, dalam hal ini termasuk dalam lembaga kemasyarakatan yang dimaksud oleh Foucault. Pemikiran alternatifnya tersebut, telah diakui diseluruh dunia.

Menyoal tentang identitas yang disimbolkan dengan cara berpakaian, serta kaitannya dengan etika kesopanan, pada dasarnya tidak pernah lepas dari yang namanya hegemoni pengetahuan. Untuk memahami sebuah etika, diperlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis agar tidak terjadi sebuah kesalahpahaman berpikir.

Etika kesopanan, seharusnya dilihat serta dinilai dari berbagai aspek. Mulai dari etika deskriptif, yang hanya menerangkan secara apa adanya. Etika normatif yang dipakai untuk menilai apa yang sebaiknya dilakukan. Etika individual yang objeknya manusia sebagai individualis. Terakhir, etika sosial yang membicarakan tingkah laku manusia sebagai makhluk sosial dan hubungan interaksinya dengan manusia lain.

Etika memang erat kaitannya dengan sebuah penilaian. Dalam konteks ini, penilaian yang dilakukan oleh hakim hanya berangkat dari etika individual, dan mengabaikan etika yang lain. Tampak bahwa hakim menggunakan otoritasnya berdasarkan keinginan pribadi, dan menilai teman-teman Papua sebagai pribadi yang tidak punya kaitan dengan manusia yang lainnya.

Apa yang dilakukan oleh hakim dan orang-orang pengadilan secara kelembagaan, bisa kita sebut sebagai tindakan mubadzir kata-kata dan tindakan. Kenapa seorang hakim pengadilan masih mengurusi hal remeh-temeh semacam pakaian? Jika sedari awal norma kesopanan yang menjadi prinsip dari pengadilan kita, mengapa hal itu harus terus-terusan dilanggengkan?

Apa hasil yang bisa kita harapkan, jika sejak awal pengadilan kita sudah tidak adil kepada orang-orang yang akan diadili? Bukankah hak orang yang akan diadili juga harus dipenuhi, sebelum pertimbangan hukuman dijatuhkan?

Walaupun hal ini dianggap bukan sebagai bentuk diskriminasi, tetap saja akan mudah untuk kita bantah. Dakwaan makar yang dijatuhkan pada teman-teman Papua, sebenarnya juga tidak berangkat dari hal yang kosong. Berhubung, kasus mereka masih ada kaitannya dengan peristiwa rasisme di asrama Mahasiswa yang terjadi di beberapa kota-kota besar.

Saya rasa, kita harus sebijaksana mungkin menyelesaikan masalah teman-teman Papua ini. Pertama, jika terus dibiarkan, hal ini akan menimbulkan konflik antar sesama. Karena, teman-teman Papua tentu akan menilai hal ini sebagai sebuah ketidakwajaran yang merugikan mereka.

Kedua, kebebasan berpendapat dan berekspersi yang dilakukan dalam persidangan kasus ini, seharusnya menjadi pertimbangan di kalangan hakim sendiri. Selain sebagai sebuah pendidikan hukum kepada publik, kasus teman-teman Papua adalah bentuk pendewasaan iklim berdemokrasi kita.

Terakhir, Koteka mau bagaimanapun tak akan bisa digantikan dengan pakaian lain. Koteka sudah menjadi bagian dari adat dan budaya yang kita miliki bersama. Wajar tentunya jika kita menghormati, menjaga dan melestarikan identitas semacam Koteka ini. Pastinya tidak ada yang ingin jika identitasnya dihilangkan, apalagi dianggap rendah oleh identitas yang lain. Hal tersebut lah yang dirasakan oleh teman-teman Papua yang menolak anjuran hakim untuk memakai celana di persidangan.

Belajar dari Gus Dur, ketika ditanya tentang teman-teman Papua yang mengibarkan bendera bintang kejora, jawabannya adalah: “Ya tidak apa-apa kalau tidak lebih tinggi dari bendera merah putih.” “Gitu aja kok repot?” itu masih kata Gus Dur. Pertanyaan terkahirnya, untuk apa hari ini masih ada tahanan politik, jika kita mengaku sebagai sebuah negara yang damai dan tidak sedang konflik?

Tinggalkan komentar