Penulis: Alvin Basari
Kisah tentang petuah bijak MUI, kalau dikumpulkan, sudah bisa jadi satu buku utuh sendiri. Mengapa tidak, sebagai lembaga yang lahir 45 tahun yang lalu, pasti sudah banyak kisah yang terukir mengiringi perjalanannya.
Di umurnya yang hampir kepala lima itu, MUI bisa saja disebut matang secara usia. Mapan secara ekonomi, dan profesional secara pengalaman? Tapi apa buktinya hari ini? MUI masih mencari arah, menuju jalan yang benar.
Kok malah mirip judul buku kumcer temen saya ya, si Makhluk Pencari.
“Coba aja deh dibayangin kisahnya yang pasti udah lika-liku, kayak jalan menuju rumah mantan, eh maksudnya gebetan.”
Persoalan haram dan halal memang seperti tidak ada habisnya di Indonesia. Beberapa tahun lagi, kita pasti masih bisa menemukan hal yang berkaitan dengan soal haram-haraman. Entah itu yang menyangkut kemaslahtan umat, kemasalahatan bersama, dan kemaslahatan antara kamu dan dirinya.Intinya, bakal laku terus deh, kalau pinter gorengnya.
Dalam Wikipedia, dijelaskan kalau MUI adalah lembaga independen. Yang mewadahi para ulama, zuama, dan cendekiawan Islam, untuk membimbing, membina, dan mengayomi umat Islam di Indonesia.
Tugas MUI adalah untuk membantu pemerintah dalam hal-hal yang menyangkut kemaslahatan umat Islam. Halo? Kemaslahatan yang bagaimana ya?
Sepanjang tahun kemarin saja, sudah berapa petuah bijak yang dikeluarkan MUI untuk kita. Yang tentu saja itu bikin kita gak nyaman banget. Mulai dari diharamkannya PUBG, sampai larangan mengucapkan selamat natal? Kalau punya pacar atau gebetan yang ngerayain natalan, kita kudu piye coba? Pura-pura gak tahu?
Lantas, kenapa tidak ujaran kebencian saja yang diharamkan?
Dari definisi dan tugasnya, sudah jelas kalau MUI harusnya mengayomi kita kan? Eh tapi kok malah hobinya ngelarang-larang ya? Apa iya kalau mengayomi itu, emang harus suka ngelarang?
Kendala Menuju Generasi Emas 2045
Salah satu kendala kita untuk menuju generasi emas adalah, ujaran kebencian yang masih masif di media sosial. Hal ini, kalau tidak diantisipasi segera, akan ikut mempengaruhi cara berpikir di generasi selanjutnya. Ibarat luka yang pernah terukir, ujaran kebencian yang diterima oleh sebagain orang, mengutip kata Gus Dur; “Pasti bisa dimaafkan, tapi tidak mungkin untuk dilupakan.”
Selanjutnya, yang menjadi kendala kita untuk menuju generasi emas di 2045, harus terbiasa dulu dengan sepak terjangnya MUI. Agar apa yang menjadi sebuah terobosan di generasi mendatang, tidak berseberangan dengan agenda MUI.
Kalau sudah terbiasa, baru bisa tuh jadi dambaan dan harapan kita semua. Oleh karena itu, mari segera kita siapkan generasi penerus bangsa yang terbiasa dengan petuah bijak yang lahir dari rahimnya MUI.
Jadi tunggu apalagi? Segera dong, bikin kiat-kiat untuk menghadapi petuah bijak dari MUI?
Para motivator yang terhormat, gak tertarik nih sama tawaran ini? Lumayan loh, segera saja sediakan dan garap sebuah buku panduan: “Kiat sukses dari mendengar petuah bijaknya MUI.”
Yak, mudahnya kalau mau agak sastra dikit, kira-kira judul bukunya begini: “Manusia Tangguh yang Berbakti pada Orangtua.”
Kalau sudah begitu, ini adalah langkah progresif yang sudah dilakukan kita sebagai satu kesatuan, berbangsa, dan bernegara.
NKRI… Harga Mati…
MUI….Tak kan pernah terganti…
Dari sekian kontroversinya MUI, yang bisa kita ambil menjadi sebuah pelajaran berharga, adalah bahwa, MUI tidak akan pernah lelah mencerahkan umat.
Selagi umat muslim di Indonesia belum bisa seperti umat di zaman khilafah, MUI tidak akan pernah menyerah. Bedanya, kalau khilafah nawarin surganya setelah mati, MUI selangkah lebih maju. Tawarannya surga sudah harus ada sejak di Bumi!
Sebab, kenapa harus menunggu mati baru bisa menikmati surga? Padahal kita sudah bisa menikmatinya dari sekarang?
Perlahan, kita harus memaklumi apa yang diinginkan oleh MUI. Wong niatnya luhur dan baik gitu kok, kenapa juga harus kita tolak? Yaaa kannn?
Yang saya tahu, dari sejak saya kecil sampai sekarang, dan paling membekas dalam ingatan saya, kebaikan MUI karena selalu terlibat dalam penetapan sidang isbat. Selain itu, emmm gak saya ingat sih. Karena kadang efeknya juga gak saya rasain.
Selain emang saya jarang buka webnya MUI, kalau pun ada, paling banter saya cuma anggap petuahnya seperti angin yang berlalu. Seperti kenangan yang tidak semuanya harus diingat.
Seperti lagunya Herlin Pirena yang berjudul Kini Tiba Saatnya, yang menceritakan soal perpisahan. Entah itu pisah dengan kenangan di tahun yang lama, dan harapan semoga diberkati oleh Tuhan di tahun yang baru, nampaknya bakal mirip dengan nasib para penggemar Netflix.
Bedanya, lagu itu ditujukan atas harapan, semoga bisa diberi kebahagiaan dari tahun yang silam. Dan diberkati oleh Tuhan. Kalau nasib para penggemar Netflix sih, bisa jadi sih kebalikannya.
Jadi, daripada sibuk mengurusi haram tidaknya tontonan umat, apalagi sampai difatwa haram tidaknya, mendingan MUI haramkan saja ujaran kebencian yang sampai hari ini masih ada.