Cintaku Berdaulat Fobia

Mainmain – Pagi yang cerah di hari yang indah, saya merasa qolbu yang sumringah. Kuakhiri mimpiku untuk membuka mata pelan-pelan dari balai waktu saya lahir, kurasa, hari ini sangat indah.

Saya kebingungan mencari henpone, dan ternyata di atas bantal. Anehnya, tiba-tiba hatiku tergerak untuk memfollow orang yang sudah aku kenal sejak kecil, dan saya memberanikan diri untuk nge-DM hanya meminta untuk nge-Follback IG saya. Tapi dalam hati dan pikiran, ketikaa saya sesudah nge-DM, terasa takut serta bimbang. Sering kali saya berpikir, apakah dibalas atau tidak. Sukur-sukur di read, yang penting saya sudah bersikekeh memberanikan diri untuk nge-DM. Dan setidaknya dia sudah tahu kalau memang diread doing.

Ngomongin dia malah jadi inget masa kecil dulu. Karena sewaktu saya kecil dulu, sering jalan-jalan pagi, yang biasa saya artikan sama teman-teman “lari pagi tuing-tuing”. Kata itu termotivasi dari lagu si raja dangdut soneta, yang berjudul lari pagi rilis 2000. Eh yo kok malah ngomongin bang haji Roma Irama.

Di jalan-jalan pagiku yang pertama, wanita yang sejak awal saya kenal ini, mempunyai kebiasaan yang bisa jadi aneh menurut kebanyakan orang. Karena setiap mau tidur, ia pasti membasahi kakinya. Dan menurutku, sebenarnya tidak aneh ketika berkaitan dengan tradisi di tempatku. Sebab, saya pernah diceritain kakek saya, katanya dalam bahasa Jawa, “cong biyen nak arep turu iki dikon wisoh sikil soale akeh setan seng podo nemlek”. Jadi, ini bukan aneh tapi masih memegang teguh peninggalan adat Jawa.

Baca Juga :
MAKAN PAGI PITO
Rangkulan Sulung untuk Sulung

***

Setiap libur sekolah, saya memang sering jalan-jalan pagi sama teman, dan saya merasa di pagi ini ada yang membuat diriku semangat. Saya melihat wanita itu sedang duduk di pos ronda tua peninggalan nenek moyang. Ia sedang tersenyum, meski senyuman semangat itu untuk menyapa pagi. Akan tetapi, saya ikut merasakan keindahan pagi itu. Senyum itu pula yang memberi semangat pagiku dan membuatku merasa bahagia.

Rasa penasaran pada wanita itu, ingin saya tuntaskan supaya terbongkar semua dari delik-deliknya ketidakpastian. Dan pada hari kedua, aku dipertemukan lagi di tempat yang sama tapi ada sedikit yang berbeda. Di hari kedua ini, dia sedang membelai-belai kucing imutnya dengan senyuman manis tipis-tipis. Senyuman daulat itu sudah mengalokasikan indahnya pagi di hari kedua ini

Saya berpikir mempunyai niat yang sangat aneh, tapi sama seperti sebelumnya, menurutku ini tidak aneh-aneh banget. Lantaran saya sangat mengaguminya. Saya tak sabar hari kedua ini semoga cepat berlalu, dan bisa menyambut pagi lagi. Karena saya berniat untuk menangkap kucingnya demi ingin mengenal wanita ini.

Baca Juga :
Cowok Suka Masak Dipuji, Cewek Suka Masak Kok Disepelekan?
Pemulihan Wisata Pasca Pandemi Covid-19

***

Tak terasa, hari kedua ini semakin cepat berlalu. mungkin saja doaku sedang dikabulkan Tuhan, gumamku dalam hati. Dan saya belum bisa tidur karena pikiran selalu membayangkan setrategi di esok hari. Isi kepalaku semakin mengada-ngada, mungkin saja pikiranku lagi capek, dan tak terasa saya tertidur lelap.

Tiba-tiba, ada suara yang mengganggu tidurnya orang tua saya. Ternyata suara dari luar itu suara teman saya. Sampai akhirnya, orangtua bergegas membangunkan anak keduanya yang paling ganteng ini ujarnya. Teman-teman pun sudah menunggu di depan rumah saya.

Di sinilah hari ketiga telah tiba, dan pikiran anehku sedang dimulai. Di start lari pagiku, saya memprovokasi, bahwasanya teman-teman akan saya doktrin untuk menangkap kucing wanita yang sedang senyum manis kemarin. Di situ saya malah ngerasa kayak DPR sedang koalisi, yang mengaspirasikan visi-misi untuk sejalan pada idiologinya. Kalau udah jadi, kebanyakan lupa dengan janji. Hemmm, kok malah jadi ngomongin DPR, salah server ini.

Sesampainya di tempat yang biasa cewek ini duduki setiap pagi, di pos ronda yang banyak kenangan itu, mulai dari era orde baru itu, yang hak-hak di bungkam sampai hak-hak diakui dalam UUD pasal 28, di sini saya tidak merasakan adanya wanita itu. Yang biasanya di dua hari lalu menggebukan semangatku.

Baca Juga :
Romantisme dalam “Aku Ingin”
Perihal Patah Hati dan Puisi Lainnya

Saya sedikit kecewa di hari ketiga. Hanya ada kucing manisnya saja. Tapi tak apa tidak dipertemukan sama orangnya, yang penting masih bisa melihat hewan peliharaanya. Itupun sudah menyemangatkan hariku. Setidaknya, kucing itu masih kujamak oleh mata, kan kebanyakan sekarang awal janji tidak sesuai strategi ajangnya kan kor Upsss! Dah ngawurkan pikiranku. Di sinilah saya mencoba untuk menangkap kucingnya, siapa tahu pas saya tangkap, wanita itu keluar. Terus saya bisa kenalan dengannya. Udah kayak tikus yang mau membungkam kucing bukan?

Saya suruh teman-teman untuk mengatur strategi demi mendapatkan kucingnya. Posisi kucing itu sudah kuboncong, dan alhasil kucing itu lolos lewat tengah kuda-kudaku. Susah memang, menyekap yang belum kenal.

Singkat cerita, pagi demi pagi telah kulewati. Saya tidak pernah dipertemukan dengan ujung hidungnya wanita itu lagi, apalagi melihat peliharaannya. Yang di mana sebelumnya, setiap pagi wanita itu duduk di ronda tua dengan kaki bergelantung menghadap utara.

Kurang lebih sudah 4 tahun aku tidak menjumpainya, asumsiku mungkin saja, wanita ini tidak suka keluar rumah, atau bisa dibilang home-based child.

Waktu SMA saya diperlihatkan lagi, setiap saya liat juga tidak jauh dari tempat bermainya waktu kecil yang pertama saya jumpa. Bedanya, yang sering saya lihat sekarang di rumah dan di teras rumah. Dari sini saya berani menjudge, bahwasanya cewek ini home-based child.

Baca Juga :
Refleksi Perjuangan Anti Kekerasan Seksual
Perpisahan, Kepulangan, dan Kenangan

Selesai lulus SMA tahun 2017, saya tidak pernah melihatnya lagi hampir dua tahun. Dan di tahun 2020, saya memberanikan diri ntuk nge-DM. Ternyata, yang dari awal menghantui pikiranku, yang aku anggap wanita ini cuwek, ternyata salah besar. Nyatanya dia fest response. Mungkin wanita ini merasakan apa yang kurasakan, dan kebanyakan sekarang kalau tidak pro tidak dirasakan.

*Ini cuma kisah anak remaja yang pertama storge berkelanjutan metamorfosisi menjadi fobia terhadap cinta. Sesungguhnya cinta adalah haha-hihi, tergantung kita menafsirkan dan menjalaninya.

Karya : M. Nur Hadi
Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga
Bisa dihubungi di: hadimnur2@gmail.com

Tinggalkan komentar