Mainmain – Jauh sebelum Indonesia merdeka, para tokoh besar di masa lalu sudah akrab dengan yang namanya ideologi. Bisa dibilang, hampir semua tokoh yang menonjol kala itu, lahir dari pembacaan dan penguasaanya atas ideologi besar di dunia. Sebelum akhirnya, kebanyakan dari mereka menjadi ideolog itu sendiri. Sebut saja Tan Malaka dengan konsep ‘Madilog’-nya yang terkenal itu. Lalu ada Muso dengan ide ‘Jalan Baru’-nya. Kemudian Soekarno yang sangat familiar dengan ‘Marhaenisme’, juga PKI dengan jalan pikiran ‘Miri’nya.
Pertanyaan yang mucul kemudian, ‘apakah ideologi itu sendiri?’ Apakah ideologi hanya semacam kumpulan nilai abstrak, yang kemudian dipoles agar terlihat meyakinkan bagi sebagain besar orang? Ataukah ideologi merupakan cita-cita luhur yang ingin diwujudkan di kemudian hari?
Baca juga :
– Menyoal Identitas dan Kesopanan Teman-teman Papua
– Seperti Kasam, Nestapa Harus Dibayar Tandas
Tentunya, pertanyaan semacam itu tidak akan terjawab tuntas bila kita baru ingin berangkat dan mempelajari ideologi secara singkat dan cepat. Dengan kata lain, dibutuhkan waktu yang cukup lama dan bacaan yang tidak sedikit untuk memahami apa sebenarnya ideologi itu sendiri.
Namun, sebagai dasar dan pengantar, tulisan ini akan mencoba mensistematiskan dan sesederhana mungkin mengulas ‘apa itu ideologi.’ Semoga, tulisan ini nantinya bisa berguna bagi sebagian orang yang sekiranya memerlukan bahan untuk mulai mengenal ideologi itu sendiri.
Sebenarnya, apa itu Ideologi?
Seperti yang sudah saya singgung di atas, banyak penafsiran atas ideologi itu sendiri, apalagi penafsiran terhadap jenis-jenis ideologi yang ada. Secara ringkasnya, kita bisa artikan ideologi adalah semacam gambaran sosial-politik, yang bisa saja disadari atau tidak disadari. Kebanyakan atau seringkali, ideologi menjelma seperti ide, gagasan, teori, aturan, filosofi, hukum, konsep, paham, dan prinsip, serta skema yang sudah dianggap benar, tanpa perlu dicari tahu alasan kebenarannya.
Pada umumnya, ideologi lalu berubah bentuk menjadi semacam imajinasi atau cita-cita yang dianut oleh kebanyakan orang, mulai dari organisasi, paguyuban, komunitas, bahkan negara. Sebagai contoh, dan jamak kita dengar, sebuah organisasi punya cita-cita luhur untuk menyejahterakan rakyat Indonesia, menertibkan keadilan, dan menjaga status kemerdekaan atau mungkin menegakkan negara khilafiyah.
Karl Marx menyebut ideologi adalah kesadaran palsu atas kondisi sosial-politik yang ada. Tesis Marx tersebut berangakat dari kondisi yang dialaminya kala itu, ketika melihat ideologi Kapitalisme yang banyak disalahpahami dan keliru diartikan sebagai sebuah sistem ekonomi yang mengedepankan rasa keadilan. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah penindasan dan pemerasan yang diterima oleh para buruh kebanyakan.
Baca juga :
– Merawat Ruang Imajiner
– Pemulihan Wisata Pasca Pandemi Covid-19
Antonio Gramsci menyebut ideologi adalah proses penanaman nilai yang dilakukan lewat hegemonisasi. Pendapat Gramsci muncul ketika menyaksikan kondisi di Itali, ketika para buruh dihegemoni untuk memperjuangkan hal-hal yang baginya tidak signifikan untuk para buruh sendiri. Yang semestinya buruh memperjuangkan hak politik dan ekonominya, malah diarahkan untuk menggencarkan propaganda anti asing. Hal tersebut dipengaruhi oleh agenda elit tertentu yang punya kepentingan dan mengamankan posisinya waktu itu.
Sedangkan Louis Althusser menyebut ideologi adalah perangkat nilai yang disebarluaskan oleh aparatus negara. Aparatus yang dimaksud Althusser di sini adalah aparatus ideologis negara dan aparatus represif negara. Aparatus ideologis negara ini menyebarkan suatu ideologi tanpa ada kekerasan, dan bisa berwujud misalnya sekolah, lembaga keagamaan, adat-istiadat, dll. Sedangkan aparatus represif negara, menyebarkan ideologi dengan menanamkan ideologi melalui jalan dan simbol kekerasan, misalnya tantara, polisi, pengadilan, dll.
Mengapa Ideologi menjadi Sumber Nilai?
Dari pandangan dan pendapat beberapa tokoh di atas, sebenarnya masih banyak lagi tafisran terkait ideologi. Tetapi kita tidak akan membahas hal tersebut lebih lanjut. Kita akan mulai masuk dan mempertanyakan apa sebabnya ideologi kemudian menjadi sumber nilai?
Sejak awal kemunculannya, setiap ideologi pasti punya latar historis yang jelas dan tujuan yang akan dicapai. Pertanyaan selanjutnya, apa yang membuat sebuah ideologi punya daya tawar dan pantas untuk dijadikan sebuah acuan dalam bergerak?
Menurut Martin Suryajaya, ada tiga hal yang mendorong sebuah ideologi dapat diakui dan layak dijadikan sebagai sebuah pegangan. Pertama, sebuah ideologi harus mampu memengaruhi cara berpikir kita. Setidaknya, sebuah ideologi harus dapat merubah cara berpikir kita tentang mana yang bisa kita anggap benar, dan mana yang bisa kita anggap salah.
Baca juga :
– Menggali Kubur Demokasi
– Belajar dari Mimpi yang Akhirnya Terwujud
– Di manakah Posisi Rakyat dalam Pembangunan?
Kedua, sebuah ideologi harus dapat mengarahkan kita kepada suatu pengambilan sikap tertentu. Misalnya, minimal kita bisa menentukan suatu tindakan yang harus dilakukan atau boleh dilakukan, dan mana tindakan yang seharusnya tidak kita lakukan atau tidak boleh kita lakukan.
Ketiga, sebuah ideologi sekurang-kurangnya sekilas terlihat masuk akal. Contohnya, sebuah pimpinan perusahaan melarang karyawannya untuk masuk serikat pekerja. Sebab, dengan masuk serikat pekerja, bisa muncul kemungkinan merugikan perusahaan tersebut. Dan apabila perusahaan tersebut mengalami kerugian, maka yang akan paling merasakan dampaknya adalah karyawan sendiri.
Macam-macam Ideologi
Dari sekian banyak ideologi yang ada di dunia, secara garis besar kita perlu mengetahui dan mengenal beberapa ideologi yang kehadirannya tidak diragukan lagi. Pertama, kapitalisme. Ideologi ini barangkali sudah sangat familiar di telinga para aktivis pergerakan. Dan kurang afdol rasanya jika sebagian besar dari kita masih kurang akrab dengan kata yang satu ini.
Kedua, liberalisme. Jika kapitalisme kebanyakan berkutat pada sistem ekonomi-politik, bedanya dengan kapitalisme, liberalisme adalah ideologi yang cenderung membenarkan kapitalisme. Kalau kapitalisme adalah kenyataan riil yang terjadi, liberalisme bisa kita artikan sebagai sebuah keyakinan yang mengesahkan kenyataan tersebut. Liberalisme pun banyak jenisnya. Mulai dari liberalisme klasik, liberalisme modern, libertarianisme, sampai neoliberlisme, dan silahkan cari tahu lebih lanjut di buku-buku yang banyak beredar di pasaran.
Baca juga :
– Lingkungan Versus Ekonomi?
– Apa yang Lebih Gersang, Feminisme atau Ilmu Ekonomi?
– Terima Kasih Gelap, Aku telah Menemukan Terang
Ketiga, anarkisme. Ideologi ini menjadi sebuah ideologi yang seringkali banyak disalahpahami. Dari katanya saja, sebagian besar orang, pasti akan beranggapan anarkisme erat kaitannya dengan tindakan brutal dan kekacauan. Padahal, sejatinya bukan seperti itu paham yang diusung anarkisme. Jika ingin mengetahui lebih lanjut soal anarkisme, bisa membaca buku yang berjudul Usaha Menyalakan Api. Di dalam buku, itu ada ulasan menarik terkait anarkisme yang ditulis oleh Willy Vebriandy.
Selain tiga ideologi besar di atas, sebenarnya masih banyak lagi macam-macam ideologi lainnya. Mulai dari Sosialisme hingga Komunisme, Fasisme, Populisme dan Konservatisme, bahkan Pancasila itu sendiri. Karena tulisan ini hanya bertujuan sebagai pengantar, semoga saja tulisan ini bisa memantik keingintahuan orang-orang lain lebih jauh lagi terkait ideologi itu sendiri.