Seperti yang kita ketahui bersama, isu kekerasan seksual yang terjadi di kampus-kampus sudah menjadi persoalan yang mendesak dewasa ini. Dengan semakin banyaknya kasus kekerasan yang muncul, merupakan pengingat yang nyata bahwa penindasan yang merugikan sebagian pihak terus terjadi.
Sebut saja kasus yang menimpa Agni di UGM beberapa waktu lalu, dan yang terbaru kasus Ibrahim Malik di UII, seharusnya membuat kita sadar bahwa tidak perlu lagi ada yang namanya penundaan penyelesaian. Dalam tulisan ini, dua contoh kasus di atas tidak akan menjadi prioritas kita, dan kita akan coba membahas isu kekerasan seksual secara universal.
Jika kita tinjau lebih jauh, perjuangan melawan kekerasan seksual banyak mengalami reduksi sampai hari ini. Keberpihakan yang belum jelas kepada korban yang mengalami kekerasan seksual, menambah daftar masalah yang harus kita selesaikan bersama.
Dalam ranah gerakan, ada beberapa pelajaran dan evaluasi yang berkaitan dengan persoalan kekerasan seksual, salah satunya hegemoni seksime yang terus dilanggengkan, bahkan sampai ke tataran mahasiswa. Contoh di UGM, Agni disebut dan dianggap sama-sama mau melakukan aktivitas seksual.
Hegemoni seksis seperti inilah, yang sebenarnya sulit dilepaskan dan menjadi pemicu kekerasan seksual di kampus. Berbicara gerakan, kita tidak bisa hanya mengandalkan individu yang ada di kampus sendiri, tetapi harus secara lebih luas.
Sayangnya, anggapan selanjutnya yang muncul bahwa gerakan seperti yang ada di UGM, disebut sebagai perjuangan teman-teman UGM semata. Kendala lainnya, gerakan semacam di UGM ini dianggap bersifat tertutup, dan campur tangan dari luar dianggap sebagai ikut campur urusan internal UGM.
Pertanyaannya, apakah regulasi anti kekerasan seksual sudah menjamin hilangnya kekerasan seksual di kampus? Sulit untuk dipungkiri pula, draf yang disusun kampus kebanyakan lebih bersifat formalitas.
Langkah yang kurang progresif seperti ini ibarat penggugur kewajiban semata, dan seperti topeng yang memperlihatkan bahwa kampus sudah melindungi peserta didiknya. Akan tetapi, langkah semacam ini secara tidak langsung membatasi gerakan yang dimunculkan.
Selain beberapa kendala tadi, juga banyak kebolongan dalam gerakan anti kekerasan seksual yang seharusnya bisa segera diatasi. Sebab, kita tidak bisa kita mengandalkan institusi pendidikan untuk menyelesaikan kekerasan seksual yang marak terjadi hari ini. Belum lagi, terdapat ketidaksetaraan posisi antara mahasiswa dan pihak rektorat hari ini.
Dalam hal ini, gerakan tidak bisa hanya dijadikan support system dan menuruti permintaan dari penyintas. Lebih dari itu, gerakan harus bisa mendorong serta melampui harapan dari para penyintas, dan merapikan sistem yang sangat merugikan pihak rentan lainnya.
Perjuangan anti kekerasan seksusal di kampus, juga menunjukkan bahwa ruang publik kapan saja bisa menjadi ancaman. Kasus Ibrahim Malik yang korbannya mencapai angka di atas tiga puluh, semakin memperparah kondis dan sesegera mungkin ditangani secara tepat.
Apalagi jika kita tidak pernah mengetahui nasib dari para korban. Dan menurut informasi terbaru, ada korban yang sampai saat ini belum lulus, dan lebih tragisnya ada yang belum berani menyuarakan kondisi terbarunya. Hal ini menjadi salah satu sebab gerakan solidaritas harus segera kita langsungkan.
Berbeda dengan UGM, di UII sendiri masih menjadi sebuah hal yang tabu ketika kita membicarakan tentang seksualitas. Untuk draft perlindungan penyintas, UII bahkan belum ada sama sekali.
Ditambah lagi dengan banyaknya pihak konservatif, yang salah memahami bahwa urusan kekerasan seksual ini dianggap sebagai urusan privat. Apabila meminjam analisis Foucault, tentunya kita bisa langsung mengetahui bahwa disiplin dan patuh adalah dua hal yang berbeda.
Kesalahan kampus di sini, menyamakan bahwa dispilin dan patuh terhadapa aturan adalah dua hal yang sama. Kurangnya pemahamana atas gender dan seksualitas, tidak bisa dipungkiri menjadi salah satu kendala yang kita hadapai sekarang ini.
Melihat kasus Agni di UGM, yang terjadi adalah penyelesaian, bukan penanganan. Padahal, penyelesaian bisa dilakukan kapan saja, sedangkan pengalaman belum tentu bisa dilakukan kapan saja. Mengutip AE Priyono, perjuangan itu memaang membutuhkan napas yang panjang.
Selain banyak normalisasi kekerasan yang terus berlangsung berdasarkan klaim yang belum tentu valid, lucunya sekarang ini dalil-dalil agama dijadikan klaim dan legalitas untuk melakukan kekerasan seksual.
Ditambah dengan hegemoni seksisme yang hari ini telah dikomoditaskan. Selanjutnya, hak kita atas tubuh dan pikiran kita sendiri menjadi dibatasi. Kasus kekerasan seksual yang terjadi hari ini, lucunya tetap berdalih dan berputar di sana-sana saja.
Ini sama halnya dengan menyamakan bahwa perempuan berpakaian mini lah yang salah. Padahal, banyak kekerasan seksual yang terjadi di pesantren terjadi pada perempuan yang pakaiannya tertutup. Jadi, anggapan bahwa perempuan menggoda kaum Adam ini sudah bermasalah.
Maka dari itu, kekerasan seksual bisa kita anggap sebagai permasalahan urgen yang terjadi pada masyarakat hari ini. Secara konsepsi pula, kita tidak bisa menyatarakan posisi pelaku dan korban, sebab “netral adalah bullshit hari ini”.
Selanjutnya, terdapat juga kesalahpahaman yang berkaitan dengan seksualitas, seperti apakah laki-laki yang selalu menjadi sumber masalah?
Dalam hubungan asmara dan percintaan, memang sering kali kita menormalisasi bahwa perempuan tidak pernah salah. Sering tidak disadari, kita juga sering menormalisasi bahwa laki-laki lebih dominan.
Pendapat ini juga tidak sepenuhnya salah, karena banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di institusi agama, seperti pesantren dan gereja menunjukkan suatu kuasa relasi yang timpang.
Hal ini sebenarnya sudah disinggung dalam RUU-PKS, bahwa setiap orang yang berniat dan telah melakukan kekerasan seksual dengan dalih apa pun, tidak bisa diterima.
Alasan RUU-PKS ditolak karena dianggap mencampuri urusan rumah tangga, tampaknya tidak masuk akal. Alasan semacam ini pula yang selanjutnya tidak bisa kita terima, karena ini berkaitan dengan urusan kemanusiaan.
Banyak sekali perdebatan soal kekerasan seksual, sering kali mempermasalahkan soal akar masalah. Sebagaimana kita ketahui, kedudukan yang timpang hari ini, bukanlah hal yang alami. Karena perempuan hari ini sudah jelas dinomorduakan oleh sistem tertentu.
Terbukti, ketika perempuan sudah masuk dalam sektor-sektor tertentu, misal pemerintahan, tetap saja perempuan belum bisa menyelesaikan beberapa persoalan. Pertanyaanya, bagaimana dan mengapa kekerasan seksual sering terjadi pada perempuan dan anak hari ini?
Secara naluriah, anak laki-laki selalu dibentuk sebagai petarung dan pemenang, sedangkan perempuan selalu dibentuk agar patuh dan tunduk. Hal tersebut sudah terjadi dan terstruktur dalam lingkup terkecil yaitu keluarga.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana gerakan anti kekerasan seksual bisa memayungi serta mewadahi sekaligus menyelesaikan persoalan kekerasan seksual hari ini?
Padahal, pada tahun 2008 sudah ada undang-undang kebiri. Nyatanya hal ini belum bisa menanggulangi kekerasan seksual yang terus terjadi. Dalam hal ini, kita perlu membangun basis gerakan riil yang tidak berpangku tangan pada perwakilan.
Sebab, hal ini memungkinkan banyak ilusi yang terbentuk selanjutnya. Oleh karena itu, regulasi perlu didorong dan menjadi langkah awal yang tepat. Melihat RUU-PKS yang paling menjanjikan, harus tetap didorong dengan mengkampanyekan penyadaran dalam ranah yang paling mendasar.
Terkhir, kita sekiranya juga perlu mengesampingkan ego sektoral terkait perjuangan anti kekerasan seksual. Memajukan basis setiap kampus yang ada dan meningkatkan kesadaran politik.
Belajar dari aksi 1998, mahasiswa UGM melaksanakan aksi mogok diam yang berhasil, sehingga penyintas mendapatkan haknya sebagai penyintas. Dan semoga tidak lagi terjadi kejadian seperti dalam konferensi pers yang dilangsungkan oleh teman-teman UII, kekerasan seksual yang terjadi di kampus sama sekali tidak diketahui oleh kampus.
NB: Tulisan ini adalah hasil diskusi (safari kampus) yang diselenggarkan oleh Lembaga Studi Sosialis (LSS) bekerja sama dengan UII bergerak