Sekali waktu, Kakek saya pernah bercerita pengalaman masa mudanya dulu; soal jaman di mana layar tancap adalah tontonan mewah setelah jaipong, dan wayang golek. Dan tentu saja, selain itu, kebanggaan pernah ikut memburu orang-orang kuminis, yang konon katanya tidak percaya Tuhan. Ada satu lagi, beberapa tahun sebelum ikut memburu orang-orang kuminis, kakek saya lebih dulu kenal dengan “gerombolan” yang secara gerakan–mungkin di zaman sekarang–lebih mirip gerakan ala Batman: siang molor, malam beraksi.
Saya pikir, cerita kakek saya soal gerombolan yang hanya bergerak pada malam hari, dan orang-orang kuminis anti Tuhan hanyalah mitos semata. Namun, begitulah fakta sejarah berbicara tentang orang-orang yang kalah dalam percaturan identitas, ideologi, dan politik masa lalu bangsa ini.
Salah satu buku, tepatnya novel sejarah, yang membahas bagaimana Ibu Pertiwi melahap anak-anak terbaiknya, adalah Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari. Tentu kita tidak asing dengan penulis trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang mashur ini, bukan?
Nama sama karyanya jelas tidak asing pastinya. Namun, untuk buku Tohari yang satu ini bisa terbilang masih kalah populer dibanding trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Saya pun menemukannya dalam tumpukan buku di perpustakaan asrama dengan kondisi sudah lecek.
Baiklah. Pembukaan novel ini dimulai saat Negara api menyerang tokoh utama bernama Amid, beserta dua temannya Kiram dan Jun, dipanggil oleh guru ngaji mereka, Kiai Ngumar–seorang mantan anggota Syarekat Islam (SI) cabang Purwokerto.
Sekali waktu, Kiai Ngumar, yang juga seorang Islam tradisionalis, menyampaikan fatwa ulama besar dari Jawa Timur, Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, pendiri Ormas Nadhlatul Ulama, sekaligus tempat Kyai Ngumar berhimpun.
Katanya, “Ya. Dalam rapat itu Hadratus Syekh Mengeluarkan Fatwanya. Beliau bilang, berperang melawan tentara Belanda untuk mempertahankan negeri sendiri yang baru merdeka, wajib hukumnya bagi semua orang islam. Dan siapa yang mati dalam peperangan melawan tentara Belanda yang kafir, dialah syahid,“ (hlm.17).
Baca Juga : Refleksi Perjuangan Anti Kekerasan Seksual
Latar waktu diproduksinya fatwa tersebut adalah saat Indonesia baru merdeka. Namun, dilihat dari reaksi kalangan akar rumput, kisah kaum Islam tradisionalis adalah subjek yang coba dihadirkan dalam novel ini oleh Tohari.
Ia menyajikan perspektif sejarah yang tidak melulu berbicara kalah dan menang. Inlander melawan bangsa kulit putih melalui meja perundingan pemerintah.
Ibarat pohon, Tohari tidak berupaya mempertontonkan bunga mekar yang cantik, melainkan akar yang menghidupi dengan cara mencari air di antara lempeng bebatuan yang sukar diterabas. Hal ini jauh berbeda dengan sejarah mainstream yang cenderung menampilkan peristiwa perlawanan, kemenangan sejarah oleh kalangan elit, penguasa, atau paling tidak orang-orang yang lebih dulu dikenal masyarakat.
Baca Juga : Pemulihan Wisata Pasca Pandemi Covid-19
Sebagaimana Pram, Tohari (seolah) hendak memberitahu kita sejarah bangsa ini yang juga diperjuangkan oleh orang-orang yang tak mengenal bangku sekolah modern: santri dan petani, yang sama sekali kurang mengerti arti berjuang melalui jalur politik. Kesemuanya tergerak berdasarkan rasa muak atas penjajahan bangsa kulit putih, Belanda.
Bagian selanjutnya, hampir semua tokoh-tokoh ikut tersengat semangat mempertahankan revolusi melawan penjajahan. Bahkan, tokoh-tokoh jelata ini tak jarang diperlihatkan melakukan perlawanan bermodalkan nekat dan rasa benci terhadap penjajah.
“Sejak Kiai Ngumar meminta kami bersiap melaksanakan fatwa jihad, tak terjadi perkembangan apa-apa hingga tiga bulan sesudahnya. Namun pada suatu hari Kiai Ngumar kembali menyuruh kami untuk segera bersiap berangkat karena ada panggilan mendadak dari Purwokerto. Tanpa bekal yang berarti, aku dan Kiram berangkat, berjalan menempuh 30 kilometer menuju Purwokerto.” (hlm.19).
Bagi orang-orang bawah pada masa itu, perintah atasan atau orang-orang berpengaruh, setidaknya di lingkungan mereka, bisa jadi semacam penuntun menuju keselamatan. Sebab, perangkat pengetahuan untuk melihat nasib bersama (bangsa) di masa depan, merupakan suatu hal yang mungkin dimiliki orang-orang terpelajar, atau paling tidak mereka yang memiliki akses informasi dengan para pemimpin nasional.
Baca Juga :
Aku yang Lain
Harta, Kasta, Dan Cinta!
Makan Pagi Pito
Ada semacam kecocokan antara visi kalangan pemikir dan semangat perlawanan tanpa ampun kalangan bawah. Seperti Amid, Jun, dan Kiram yang dikendalikan Kyai Ngumar dalam mengobarkan semangat perang semesta yang digelorakan Hadratus Syekh melalui fatwa jihadnya.
Ini pula yang dikehendaki para pemimpin nasional lainnya macam Sukarno dan Moh. Hatta, agar rakyat siap dengan segala kemungkinan terburuk yaitu perang, konsekuensi logis dalam mempertahankan kemerdekaan. Cara-cara teknis dan strategis ala militer cenderung dimainkan. Seperti membangun kantong-kantong pasukan dengan taktik pukul-mundur, gerilya.
Ketika perang berkecamuk antara tahun 1945-1950, Tentara Keamanan Rakyat (TKR), badan keamanan resmi bentukan pemerintah, bersamaan itu pula basis-basis milisi yang dibentuk sipil bermunculan, dalam konteks ini, orang-orang islam terhimpun dalam Hizbullah (tentara Allah), juga digerakkan.
Menarik bahwa antara badan bentukan pemerintah maupun sipil, keduanya sama-sama perang dengan senjata ala kadarnya. Hasil rampasan dari tentara Jepang, senjata bekas tentara musuh yang mati dalam pertempuran, menjadi modal. Namun, meski begitu, ini masih bisa dibilang efektif, merepotkan tentara Belanda dalam misinya untuk kembali menguasai tanah jajahan.
Memasuki bagian kedua sekaligus bagian terakhir novel, penulis mulai bercerita mengenai kondisi negeri yang mulai berangsur kondusif. Belanda akhirnya mau diajak ke meja perudingan.
Tentara rakyat dan basis-basis perjuangan tidak dibutuhkan lagi. Pemerintah Republik mengeluarkan kebijakan pembentukan badan militer resmi negara, agar mantan pejuang yang kebanyakan dari rakyat biasa yang membela negara secara sukarela ikut meleburkan diri ke dalam tentara Republik.
Namun, kenyataan berbeda terjadi semasa proses pembentukan, di mana seleksi ketat diberlakukan, ada semacam upaya pembersihan terhadap tentara yang berasal dari rakyat biasa, yang sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan formal.
Tentu saja, Amid, Jun, dan Kiram, adalah orang-orang yang tidak masuk dalam kategori tersebut. Sebab, mereka tentara sukarela.
Baca Juga : Rangkulan Sulung untuk Sulung
“Mereka murung ketika mendengar seruan pemerintah itu dan aku tahu sebab yang sebenarnya. Terdengar selentingan, bahwa tidak semua anggota Hizbullah bisa melimpah ke dalam tentara republik. Pelimpahan itu hanya berlaku bagi mereka yang punya minimal ijazah sekolah rakyat“. (hlm.59).
Sentimen mulai bermunculan. Keadaan justru berubah dari bersatu padu melawan penjajah, orang-orang bekas pejuang yang tidak tertampung dalam tubuh tentara republik justru balik memberontak. Terjadi pula pada murid-murid Kyai Ngumar, yang membelot, memilih masuk barisan Daarul Islam besutan Kartosuwiryo, berbasis di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Peralihan watak tokoh terjadi cukup signifikan dari seorang pejuang menjadi bajingan buronan pemerintah harus dialami Amid, Jun, dan Kiram. Faktor lain, selain kekecewaan, juga menjadi penentu mereka membelot, yakni perbedaan pandangan terkait dasar negara.
Kartosuwiryo yang kukuh dengan penerapan syariat islam harus bertarung versus Sukarno dan Moh. Hatta dengan Pancasilanya. Kedua pandangan ini turut mengakar hingga ke tatanan akar rumput dan menimbulkan perang saudara.
Setiap malam mereka harus kucing-kucingan dari kejaran tentara republik, yang jelas-jelas secara jumlah dan persenjataan lebih memadai. Pertengahan tahun ‘50-an, gerakan DI baru bisa ditumpas dengan ditangkapnya sang Imam Besar, Kartosuwiryo. Saat itulah Amid, Jun, dan Kiram diminta Kyai Ngumar untuk kembali ke kampung, menjadi orang biasa lagi.
Baca Juga : Manunggaling Kawulo Bumi Ciptaan Gusti
Namun meski begitu, tetap saja, cap sebagai pemberontak tidak menghilang dari kacamata orang-orang di sekitar mereka. Meski kehidupan mereka jauh lebih baik dibanding ketika ikut DI, kenyataan “dikucilkan” dan dianggap sebelah mata harus mereka hadapi selama hari-hari mereka di kampung.
Menginjak akhir tahun 1965, dimana saat usia mereka terbilang tak muda lagi, suatu ketika pemerintah Republik melalui militer mengirim utusan ke kampung tempat Amid, Jun, dan Kiram tinggal. Mereka bertiga yang diketahui rekam jejaknya pernah terlibat dalam peperangan dan pemberontakan dimintai angkat senjata lagi dalam operasi penumpasan orang-orang kuminis.
Tentu permintaan sekaligus tugas negara ini disambut baik oleh mereka bertiga. Sebab, semasa terlibat peperangan melawan tentara Belanda, mereka tak jarang bersingungan dengan orang-orang PKI, bahkan sempat terjadi baku tembak.
Dengan dibeking tentara Republik, akhirnya mereka bertiga betul-betul menemukan persembunyian orang-orang kuminis: di sebuah gedung, di tengah hutan.
Terjadi baku tembak yang lebih-lebih hebat ketimbang melawan tentara Belanda ataupun saat melawan tentara Republik. Hasrat membunuh pun jauh lebih besar. Pertarungan yang tak imbang dari segala segi itu menghasilkan gelimpangan mayat orang-orang kuminis, dan harus dibayar dengan harga tidak sebanding, dengan terbunuhnya Amid, si tokoh utama dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air.
Baca Juga : Belajar dari Mimpi yang Akhirnya Terwujud
Selesai membaca novel lingkar Tanah Lingkar Air, Tohari seolah menceritakan ulang pengalaman Kakek saya dulu. Komunisme, gerombolan DI yang semula saya anggap dongeng untuk menakut-nakuti anak kecil yang belum mengerti apa-apa. Lebih dari itu, Tohari meyakinkan anak kecil ini (sekarangmah udah gede, deng) kalau itu benar adanya, itu pernah ada dan terjadi
Di sisi lain, Tohari meyakinkan saya pula lewat novelnya ini. Bahwa PKI, DI, dan semua organisasi masa silam, yang dicap terlarang oleh pemerintah. Perlu dibuktikan ulang semua kejahatannya. Lebih luas lagi, Tohari ingin menunjukan terhadap generasi hari ini, bahwa pemerintah pernah melakukan kejahatan kemanusia dan belum tuntas hingga hari ini. Bahwa pemerintah terus memproduksi kebohongan hingga warga negaranya ada yang hidup dan meyakini kebohongan itu, Kakek saya, misal. / Penulis: M. Maya
Judul: Lingkar Tanah Lingkar Air
Penulis: Ahmad Tohari
Penerbit: LKiS
Tebal: 144 halaman
Tahun Terbit: Nopember 1999
ISBN: 979-8966-56-2