Mainmain – Pada zaman orde baru kata pembangunan menjadi diskursus yang sering diperbincangkan. Bahkan menjadi trand mark pada masa itu. Berjalannya waktu kata pembangunan lebih sering dipakai dalam konteks politik dan ideologi tertentu. Ada yang menyertakan pembangunan dengan perubahan sosial, pertumbuhan, modernisasi dan rekayasa sosial. Dalam konteks zaman orde baru, implementasi konsep pembangunan dengan menjadikan desa sebagai obyek pembangunan, bukan subyek. Sehingga desa hanya menjadi lokasi bagi pemerintah untuk mengambil dan membelanjakan sumber daya negara, bukan untuk memenuhi kebutuhan dan kemajuan desa.
Sumber daya ekonomi lokal dieksploitasi sedemikian rupa hanya sekedar memenuhi target pertumbuhan, sementara kesejahteraan masyarakat desa sebagai subyek sekaligus pemilik sumber daya terpinggirkan. Akhirnya, kata pembangunan lekat pada pemerintah sebagai subyek pelaku, sementara desa hanya sebagai obyek pembangunan yang dilakukan pemerintah. Tidak heran bila mindset masyarakat sekarang selalu mengharapkan bantuan dari pemerintah untuk keberlangsungan dan kemajuan hidup.
Baca juga :
– Lingkungan Versus Ekonomi?
– Pemulihan Wisata Pasca Pandemi Covid-19
Konsep pembangunan untuk memahami istilah “membangun desa” dan “desa membangun” tidak ada dalam wacana teori pembangunan. Teori pembangunan perdesaan (rural development) yang lebih dikenal dan dikembangkan. “Desa” maupun “membangun desa” menjadi bagian dari pembangunan perdesaan.
Secara historis, pembangunan desa merupakan kreasi dan icon dari pemerintahan orde baru pada Pelita I (1969-1974) yang melahirkan Direktorat Jendral Pembangunan Desa di Departemen dalam Negeri. Namun pada pertengahan 1980-an pembangunan desa diubah menjadi pembangunan masyarakat desa. Perubahan tersebut dilakukan karena pembangunan sebelumnya berorientasi pada pembangunan fisik dan kurang menyentuh masyarakat. Namun pada tahun 1990-an nomenklatur juga berubah menjadi Ditjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, yang bertahan sampai sekarang.
Strategi pembangunan desa dilakukan dengan memadukan berbagai sector ke dalam pembangunan desa terpadu, yang berupaya membuat semacam standarisasi tatanan kehidupan desa. Implementasi stategi pembangunan des aini secara signifikan telah membawa perubahan, terutama dalam mobilitas fisik dan sosial orang desa. Tetapi konsep pembangunan desa semacam ini jelas-jelas tidak bermuara pada transformasi sosial desa. Karena dalam membangun desa tersebut, pemerintahan orde baru justru tidak memperkuat institusi desa dan otonomi desa, melainkan justru melemahkan, meminggirkan dan bahkan menghancurkan otonomi desa.
Paradigma Lama dan Paradigma Baru
Paradigma lama bersifat state centric : otokratis, top down, sentralistik, sectoral dan seterusnya. Paradigma baru mengandung spirit rekognisi dan subsidaritas yang bersifat society centris : demokratis, bottom up, otonomi, kemandirian, partisipati, dan seterusnya.
Undang-undang menempatkan desa sebagai subyek pembangunan. Pemerintah supradesa menjadi pihak yang memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya kemandirian dan kesejahteraan desa melalui skema kebijkasanaan. Dengan menjadi subyek pembangunan desa tidak lagi akan menjadi entitas yang bergantung pada pemerintah kabupaten, provinsi bahkan pusat. Justru desa akan menjadi entitas negara yang berpotensi mendekatkan peran negara dalam membangun kesejahteraan, kemakmuran dan kedaulatan bangsa baik di mata warga negaranya sendiri maupun negara lain.
Baca juga :
– Di manakah Posisi Rakyat dalam Pembangunan?
– Ubah Mindset dan Jadilah Orang Hebat
Di satu sisi, menguatnya model “desa mambangun” dimana inovasi, partisipasi hingga emansipasi transformasi sosial tumbuh dari desa. Pembangunan desa yang tumbuh dari dalam menjadi pilar penting pembangunan nasional yang harus dikognisi oleh negara. Bahkan dengan merekognisi prakarsa dan emansipasi local akan menyatukan seluruh entitas negara dalam satu konsep dan implementasi pembangunan nasional menuju kemandirian nasional. Jadi, kemandirian negara Indonesia sejatinya terletak pada kemandirian desa-desanya sebagai entitas penyusun dan penyangga nama besar Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Lalu, bagaimana mewujudkan kemandirian desa?
Sesunggguhnya telah banyak desa-desa yang sudah merintis kemandirian desa tanpa menunggu kehadiran pemerintah. Banyak tumbuk inovasi-inovasi hasil dari kreatifitas lokal masyarakat yang menunjukkan keberdayaan dan kemandirian desa tanpa menunggu turunnya pemerintah. Belajar dari berbagai praktik inovasi dan emansipatif yang tumbuh dan berkembang dari dalam desa-desa, dapat ditarik bebrapa stategis yang layak untuk diterapkan.
Strategi yang secara umum diprktikkan dalam membangun kemandirian desa
Pertama, membangun kapasitas warga dan organisasi masyarakat sipil di desa yang kritis dan dinamis
Kedua, memperkuat kapasitas pemerintahan dan interaksi dinamis antara organisasi warga dalam penyelenggaraan pemerintah desa
Ketiga, membangun system perencanaan dan penganggaran desa yang responsive dan partisipatif.
Keempat, membangun kelembagaan ekonomi lokal yang mandiri dan produktif
Baca juga :
– Hidup Itu Perjuangan
– Berubahnya Hukum Lama Akibat Adanya Keadaan Baru