IDENTITAS BUKU
Judul: Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith?: Kisah tentang Perempuan dan Ilmu Ekonomi
Penulis: Katrine Marcal
Penerbit: Marjin Kiri
Cetakan: Mei, 2020
Tebal: i-viii+226
Sampai detik ini, sulit untuk memungkiri bahwa feminisme selalu berbicara persoalan ruang. Ruang yang bisa diartikan secara harfiah mau pun secara tersirat.
Dengan kata lain, feminisme membutuhkan wadah yang bisa diisi. Wadah tersebut tiada lain adalah otak kita semua, yang masih rancu dalam memilah dan memastikan semuanya telah tertata rapi sebagaimana mestinya.
Sejak abad ke-20 sampai memasuki abad ke-21, kaum perempuan telah merintis banyak hal melalui berbagai macam perhimpunan. Mulai dari persoalan warisan, perihal berbicara di depan publik, hak kesetaraan dalam beragam situasi dan kondisi, serta membantah perkara yang dapat merugikan perempuan itu sendiri.
Dari sekian banyak aksi yang telah dilakukan, turut menggoyang status quo yang terbungkus rapi dalam patriarki. Sehingga, feminisme diasosiasikan sebagai sekelompok orang yang hanya bertujuan untuk merebut dan memiliki privilese semata.
Kurang lebih dua belas tahun yang lalu, umat manusia pernah melewati masa di mana ancaman krisis ekonomi menjadi momok yang begitu menakutkan. Peristiwa yang mengkhawatirkan sebagian besar pemegang privilese (uang) ini, dipantik oleh ambruknya bank investasi Amerika, Lehman Brothers.
Dalam waktu yang singkat, banyak perusahan dan bank-bank lain di seluruh dunia membersamainya. Kepanikan melanda di hampir semua sektor, dan yang bertahan adalah mereka yang mampu mencermati peluang untuk keluar dari kemelut tersebut.
Berkaca dari kejadian yang menimpa Amerika waktu itu, dan berefek hampir ke seluruh dunia, maka wajar jika kita menyebut manusia adalah makhluk ekonomi, entah dia feminis atau bukan.
Ketika kita memilih masuk dan menyelami relung ekonomi, lazimkah kalau kita bertanya, “siapa yang melahirkan dan memasak makan malam para pemikir di bidang ekonomi?”
Pertanyaan semacam ini, uniknya ditangkap dan diseret oleh Katrine Marcal kepada khalayak luas. Dan ia pada akhirnya bukan sekadar melempar pertanyaan, tetapi juga membuat kita menjadi terheran-heran.
Dalam tesis yang dikemukakan olehnya, Katrine menyangkal pakem ekonomi yang selama ini diamini dengan sekian banyak data dan asumsi yang sangat logis. Misalnya, Katrine mengutarakan kalau ilmu ekonomi adalah ilmu yang memabukkan.
Maksudnya, ilmu ekonomi itu tidak melulu berbicara persoalan yang pasti serta rigid. Ada kalanya, ilmu ekonomi malah memakai pengandaian-pengandain, yang hampir mirip dengan orang yang sedang berjudi.
Selanjutnya, ilmu ekonomi disebut memabukkan lantaran terlalu berani bermain-main dengan imajinasi si tokoh itu sendiri. Sebut saja Adam Smith, yang terkenal dengan teori tangan tak terlihatnya.
Pernahkah sekiranya kita mencari tahu, dari mana Adam Smith terinspirasi mencetuskan teori tersebut? Apabila mengacu pada konsep ‘manusia ekonomi’, yang di mana disebutkan kalau semua orang menjadi anonim ketika terlibat dalam pasar, saya rasa tidak cukup menjawab.
Sebab, ada ruang imajinasi yang berperan di sini, ketika Adam Smith melibatkan sesuatu yang tak terlihat dalam entitas ekonomi.
Keunikan seorang Katrine juga terletak pada pendapatnya yang mengatakan kalau manusia ekonomi itu bukan ‘perempuan’. Secara sederhana, pendapat ini memang terkesan lemah dan sangat meragukan. Akan tetapi, di sisi lain pendapat ini juga tidak dapat diremehkan begitu saja.
Memang benar, kalau teori ekonomi yang berlaku hari ini, hampir tidak ada yang diusulkan oleh perempuan, apalagi dipakai menjadi suatu konsep acuan dalam ekonomi.
Pertanyannya
apakah sebegitu tidak pahamnya seorang perempuan untuk mengurus ekonomi?
Anehnya, terkadang pendapat Katrine ini terkesan seperti dipaksakan atau cocokologi. Namun, tampaknya hal tersebut juga disengaja olehnya.
Oleh sebab itu pula, Katrine bisa mendapat posisi enak membantah argumen yang tak sepaham dengannya, hanya melalui kalimat ‘bahwa Anda yang membantah ini berarti belum paham inti ilmu ekonomi’.
Jika ditarik lebih jauh, pendapat Katrine ini seolah tarian yang mengundang badai untuk datang ke lahan yang tandus. Bukan malah menghilangkan kegersangan lahan—feminisme yang tidak menyorot persoalan ekonomi—yang ada malahan Katrine secaran radikal memorakporandakan lahan tersebut.
Secara tidak langsung, saya mengartikan seorang Katrine adalah orang yang tidak ingin tanggung dalam melakukakan sesuatu, termasuk mengkritik ekonomi memakai feminisme, atau pun sebaliknya.
Sukar dipungkiri pula, feminisme sejak lahir sampai sekarang ini merupakan sebuah kepentingan. Dari dasar ‘kepentingan’ yang akan selalu ada tersebut, kemudian dijadikan Katrine untuk membedah kerancuan dan kelalaian ekonomi terhadap perempuan.
Tidak itu saja, tampaknya Katrine seakan menyodorkan masalah baru yang kronis, yaitu persoalan ekonomi pada kelompok feminisme dewasa ini.
Entah semacam pengingat atau kegeraman yang telah dipendam sekian lama, tetapi yang jelas Katrine adalah tipe yang langsung menuju jantung persoalan.
Sebenarnya, masalah feminisme juga tidak cuma terletak pada persoalan ekonomi semata. Lebih luas daripada itu, masih banyak pekerjaan rumah yang belum selesai di tubuh feminisme itu sendiri saya rasa.
Tapi saya tidak akan lanjut lebih jauh ke sana, dan hanya akan memfokuskan pada kepiawaian seorang Katrine dalam membangun sebuah perspektif baru.
Selama ini, ketika feminisme berbicara persoalan ekonomi, berat untuk tidak mengatakan biasanya selalu memakai kerangka Marxian. Sayangnya, perspektif yang progresif semacam ini—dan seharusnya memang begitu—juga tidak terlepas dari berbagai kritik dan selalu menuai kontroversi.
Hal ini bisa dibilang juga dipengaruhi oleh kesepakatan-kesepakatan ekonomi yang tidak pernah mengajak perempuan terlibat di dalamnya, apalagi untuk berpihak kepadanya.
Untuk mengatasi hal itu, dan menuntaskan perdebatan yang menghambat feminisme, saya rasa seorang Katrine telah berhasil. Ia dengan cermat memakai teori Adam Smith untuk mengembalikan kecurigaan-kecurigaan pada tubuh feminisme, sekaligus menghantam cibiran yang tidak pernah mengakui bahwa perempuan punya peran penting di dalam ekonomi.
Dan masih soal ‘memabukkan’ seperti yang sudah saya singgung di atas, Katrine mengajak kita untuk tidak memercayai harapan yang muncul atau dimunculkan dari struktur ekonomi.
Selain itu, tindakan Katrine tidak muluk-muluk sampai taraf agar feminisme bisa dihargai oleh khalayak luas. Yang lebih penting adalah, ketika ilmu ekonomi membicarakan segala tindakan bermotif kepentingan, maka feminsime dengan segala kepentingan—kesetaraannya—berhak dapat hidup berdampingan dengannya.
Baginya, ilmu ekonomi sangat bertanggung jawab sebab telah menghilangkan bukti dari kontribusi perempuan terhadapnya, termasuk hal sepele soal makan malam yang dikonsumsi oleh Adam Smith.
Terakhir, untuk memungkasi semuanya, sangat layak kalau kita bertanya pada diri kita masing-masing, tentang mampu dan layak tidaknya kita menjadi seperti manusia ekonomi?
Seperti seorang atlit yang belajar menulis, dan para penulis yang belajar memasak, kita adalah pemula dalam segala kebaruan yang akan hadir. Maka dari itu, Katrine secara tidak langsung mengajak kita untuk selalu menerima perubahan yang niscaya terjadi di kemudian hari.
Segala sesuatu akan sangat cair, dan kesiapan adalah solusi seluruhnya.